Minggu, 30 Desember 2007

Mak Mursinah: Wajah PKL yang Tersi(s)a di Surabaya

Warung kopi adalah soko guru kebudayaan!

Mak Mursinah hanya salah seorang dari sekian pedagang kaki lima yang ditertibkan oleh pemerintah daerah berbagai kota di Indonesia. Mak Mursinah yang lebih dari sepuluh tahun berdagang di sepanjang Jl. Airlangga Surabaya, bukan orang yang tahu banyak masalah hukum yang ditujukan bagi para PKL. Namun dia sangat merasakan sulitnya himpitan hidup di kota sebesar Surabaya. Lebih-lebih setelah dia harus meninggalkan gerobak warungnya.
Pagi itu, Senin (4/02/2006) mendung seperti hendak menegaskan suasana bilangan Airlangga Surabaya yang benar-benar lengang. Beberapa ruang usaha yang biasanya ramai belum lagi dibuka. Para tukang becak yang biasa mangkal di depan Kampus B Unair juga tak kelihatan satu pun batang hidungnya. Di salah satu sisi bibir jalan itu, di atas trotoar selatan tepatnya, tampak tiga sosok duduk khusyuk tepekur di atas sebuah bangku kayu. Ketiganya cuma berteman beberapa larik angin kering, pohon-pohon sengon yang bisu dan dingin, serta bungkusan nasi campur di tangan.
Ketiga orang itu, Mak Mursinah (57) bersama anak perempuan dan cucunya, seorang bocah berumur sekitar tujuh tahun, sedang menunggu harapan dan ketakutannya dengan wajah pasrah. Mak Mursinah mungkin tergolong asing bagi mereka yang tidak akrab dengan bilangan Airlangga Surabaya. Namun bagi banyak orang -- dari mahasiswa dan karyawan Unair hingga sopir bemo, tukang becak, dan pegawai pemerintah yang setiap hari melewati jalan depan kampus itu-- keberadaan Mak Mursinah sangat besar artinya. Pedagang kaki lima (PKL) satu ini menjual nasi bungkus, teh, kopi, dan penganan kecil seperti pisang goreng dengan harga yang lebih murah dibanding harga di kantin kampus atau di warung-warung makan. Satu porsi nasi misalnya, bila kantin kampus atau warung-warung makan menjualnya Rp 2.500,00 per porsi, konsumen Mak Mursinah cukup membayarnya sebesar Rp 1.300,00.
Lebih dari sepuluh tahun sudah Mak, panggilan akrabnya, melayani mereka. Tapi, seperti halnya para PKL di Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia, sosok Mak lebih dipandang sebagai pengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Penghasilannya yang besar dan mustinya bisa dimanfaatkan oleh Pemda KMS dalam bentuk retribusi tidak pernah diperhitungkan sebagai sumbangan besar bagi perekonomian.
Mungkin benar kata orang, tak kenal maka tak sayang. Jadilah, Mak dan kawan-kawan di sepanjang Jl. Airlangga diwajibkan untuk mematuhi keputusan Walikota terpilih Drs. Bambang DH. Sesuai Perda nomer 10 tahun 1987 dan SK Walikota tahun 1999 bahwa PKL dilarang berjualan di trotoar dan taman-taman kota. Untuk itu mereka yang berjualan di tempat yang telah dilarang, tetap tidak diperkenankan berjualan di sana. Bahkan mulai 1 Februari, Pemkot Surabaya mencanangkan kembali penertiban pedagang kaki lima (PKL), termasuk wartel trotoar, pelacur, anak jalanan, gelandangan, pengemis, IMB, HO, izin reklame, KTP, tempat hiburan, panti pijat, dan bangunan liar di bantaran sungai. Surat edaran Walikota mengenai tanggal penetapan "penertiban" itu telah sampai di tangan para PKL sekitar Jl. Airlangga, Jl. Dharmawangsa, Jl. Dharmahusada, dan Jl. Karangmenjangan beberapa hari terakhir bulan Januari 2002.
Rencana penertiban PKL sekitar Jl. Airlangga, Surabaya, memang jatuh pada tanggal 4 - 6 Februari 2002. Karenanya, Mak pun sudah pagi-pagi bersiap menghadapi kenyataan paling buruk sekalipun, dengan duduk di tempat biasa warungnya berdiri. Sehari sebelumnya, Minggu siang, Mak telah merubuhkan tenda warungnya yang penghasilannya digunakan untuk menghidupi lima orang jiwa itu. Warung itu menjadi tumpuan hidup Mak, Nanik (19) anak perempuannya yang masih sekolah di sebuah SMU di Jombang, Rum (33) anak perempuannya yang sudah bersuami dan memberinya seorang cucu, Rojak (7), juga suami Rum yang menjadi tukang becak. Siang itu, Ahad (3/02/2006), sambil menggosok meja gerobaknya dengan kain basah tiba-tiba Mak menyanyikan sebuah lagu milik kelompok musik PADI.
"Semua tak sama...Tak pernah sama..." sambil tangannya terus menggosok.
Tiga orang mahasiswa yang kebetulan lewat di depan (bekas) warungnya itu sudah barang tentu terkejut seketika dan serentak menoleh tanpa aba-aba.
"Nopo Pak Silo, nontok-nontok...? (Ada apa Pak Silo, lihat-lihat?)"
"Mboten, Mak. (Tidak, Mak)" Sahut seorang yang paling belakang malu-malu.
"Ah Mak, saget mawon....(Ah Mak, bisa saja....)" Jawab Ribut Wijoto (28), yang kebetulan mempunyai sebuah kios buku dan menjadi ketua paguyuban PKL Jl. Airlangga, dari depan barisan itu. Mereka pun berlalu, sambil terus mendengar suara keluh Mak Mursinah lewat lagunya barusan.
Sebenarnya sudah cukup banyak usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok PKL itu. Mulai dari melakukan diskusi-diskusi sampai merencanakan tindakan yang akan diambil menjelang jatuh tempo "penertiban". Usaha-usaha semacam ini bukan hanya dilakukan oleh PKL di sekitar Kampus UNAIR dan RSUD Dr. Soetomo saja. Pedagang kaki lima (PKL) di Surabaya menolak digusur tanpa disertai solusi. Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (Apkli), Rifa'i, saat halalbihalal pengurus PKL se-Surabaya di rumah makan Taman Sari, Rabu (16/1/2006) menyatakan bahwa penyebab munculnya PKL adalah kemiskinan dan pengangguran, hal inilah yang harus dipecahkan pemerintah lebih dulu. DPRD Surabaya didatangi pedagang kaki lima (PKL), Senin (28/1/2006). Sekitar 30 PKL dari Jl. Achmad Yani, Pasar Turi, dan Wonokromo, mengadu ke dewan. Mereka meminta dewan mencarikan jalan keluar untuk menyelamatkan nasibnya, setelah Pemkot meminta secara tertulis agar mereka segera pindah dari tempat yang ditempatinya. Bahkan sekitar 400 PKL sepanjang Jl. Margomulyo bersedia membongkar bangunannya sendiri sebelum dead line pembongkaran yang ditetapkan Pemkot, 30 Desember 2001. Namun para pedagang ini mengajukan syarat, dana operasional pembongkaran paksa sejumlah Rp 750 juta diberikan kepada mereka.
Meskipun tidak aktif mengikuti diskusi-diskusi yang difasilitasi oleh para ketua paguyuban PKL dan aktivis gerakan mahasiswa di UNAIR, tapi Mak tetap mendukung setiap keputusan hasil diskusi. Para mahasiswa itu sudah bekerja sama dengan koordinator paguyuban PKL wilayah Surabaya Timur, Chairul Anam (30) untuk menggalang pendapat dan harapan mereka. Komite mahasiswa peduli PKL telah mengusahakan diadakannya dialog dengan berbagai pihak yang terkait untuk masalah kasus PKL di sekitar UNAIR dan RSUD. Namun tidak pernah mendapat tanggapan positif. Bahkan seperti dianggap sebagai angin lalu saja. Sekalipun begitu Mak tetap yakin bahwa semua usaha para PKL dan mahasiswa itu bakal memberikan hasil yang sesuai harapannya.
"Ya, pokoknya asal kita diberi tempat buat jualanlah, Mas." Ujar Mak Mursinah saat ditemui di bekas warungnya. "Soal nanti disuruh pakai tenda seragam, bayar iuran kebersihan, dan lainnya itu saya nurut saja, Mas."
Sambil menyeka matanya yang sembab Mak Mursinah pun menceritakan perihal tetangganya, pemilik warung di ujung timur Jl. Airlangga, yang baru dua minggu mengganti-beli warung dari pemilik lama dengan harga Rp. 4 juta dan sekarang harus dirubuhkan begitu saja. Setiap hari tetangganya itu hanya bisa menangis sambil menceritakan kebingungannya pada tiap orang yang ditemuinya. Kasus semacam ini tentu saja berbeda dengan kasus kios pedagang di UKI-Cawang yang dirobohkan untuk kedua kalinya oleh Satpol PP Jakarta Timur, sampai si perempuan pedagang yang putus asa itu nyaris membakar diri hidup-hidup. Namun kasus seperti tersebut di atas juga tak bisa diabaikan, mengingat dalam satu lokasi saja bisa terjadi dua sampai tiga kasus yang sama. Seorang penjual bakso di sisi timur Jl. Dharmawangsa juga baru dua hari membeli sebuah kios dari pemilik lamanya seharga Rp. 2 juta dan juga harus merelakan semua hasil jerih payahnya itu ditutup dan dirubuhkan.
Hari itu Senin (4/02/2006) ketika Mak Mursinah menunggui bekas warungnya tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkannya. Baru keesokan harinya Selasa (5/02/2006), masih dengan arakan mendung yang sama, Mak membuktikan sendiri kerasnya hidup di kota bisa datang dari tangan-tangan yang harusnya melindungi orang-orang seperti dia.
Bahkan sosok Kapolwiltabes Ito Sumardi pun menyatakan. "Saya akan tembak mereka yang ingin bikin onar dan anarkis. Siapa pun yang ingin membuat rusuh Surabaya akan kita sikat. Mereka yang melanggar hukum akan kita jerat dengan pasal pelanggaran pidana secara berlapis," paparnya. Tanpa memberi batasan yang jelas mengenai bentuk-bentuk tindakan onar, anarkis dan rusuh itu.
Siang itu serombongan aparat! Baik dari kepolisian, TNI, dan Satpol PP melakukan penertiban dengan cara khas yang keras dan represif. Tumpukan gerobak yang semula disembunyikan di salah satu sudut kavling RSUD yang masih dalam proses pembangunan pun dikeluarkan dan dihancurkan dengan paksa. Hanya beberapa saja yang sempat diselamatkan ulang oleh pemiliknya, dengan mengangkutnya sebelum orang-orang berseragam itu mengamankannya. Juga di beberapa rumah yang dianggap sebagai tempat penampungan gerobak para petugas itu tampak bersitegang dengan pemilik rumahnya.
Sekali pun pemilik rumah mengaku ikhlas halamannya dijadikan tempat penampungan sementara, namun orang-orang berambut cepak berbadan tegap itu tetap berkeras untuk mengangkut gerobak-gerobak yang ada. Malahan di salah satu rumah sempat terjadi serangkaian adegan dramatis. Waktu itu Heru (44) Kepala Satpam Universitas Airlangga beradu urat syaraf dengan para polisi dan Satpol PP. Sambil menuding-nuding gedung Rektorat UNAIR Heru meyakinkan bahwa keberadaan gerobak-gerobak di halaman rumah itu tidak bertentangan dengan keputusan Pemda dan permintaan pihak UNAIR untuk membersihkan trotoar sekitarnya dari PKL, karena sifatnya hanya sementara. Perdebatan sengit terjadi cukup lama, sampai membuat banyak orang berkumpul di lokasi itu dan sempat menghentikan arus lalu lintas. Setelah ada jaminan dari pihak Rektorat bahwa pernyataan Heru itu bisa diterima maka petugas penertiban hari itu meninggalkan lokasi sambil menyatakan bahwa mereka akan kembali untuk memeriksa ulang keadaan gerobak-gerobak yang sementara itu mereka tinggalkan. Para petugas itu menyatakan jika mereka kembali lagi nantinya halaman rumah itu harus sudah bersih dari gerobak-gerobak yang ada.
Begitulah Mak Mursinah dan para PKL lain sempat menarik nafas lega untuk sementara. Setidaknya gerobak-gerobak mereka tidak diangkut untuk dimusnahkan di Kantor DPU Kodya Surabaya. Namun wajah-wajah para pedagang masih tampak tegang, sebab mereka masih harus menanggung beban hidup tanpa bisa mencari penghidupan di tempat masing-masing. Selama satu minggu penuh mereka tidak berdagang atau membuka jasanya di lokasi sekitar UNAIR dan RSUD. Selama itu pula pihak pimpinan Universitas Airlangga melanjutkan program pembersihan dan penghijauannya. Mereka memerintahkan pemasangan pot-pot berbahan gorong-gorong semen yang kemudian diberi tanah dan ditanami pohon bunga-bungaan.
Kebijakan pimpinan Universitas ini bukannya tidak mendapat tanggapan negatif. Prof. Soetandyo Wignyosoebroto MPh., salah seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, menolak pemasangan pot-pot raksasa itu di depan rumah dinasnya.
"Jangan! Depan rumah saya jangan dipasangi pot!" Tegurnya agak sengit pada seorang mandor tukang batu yang sedang bekerja di sana.
"Lho? Saya cuma disuruh, Pak."
"Siapa yang nyuruh?"
"Pak Rektor, Pak."
"Suruh rektornya datang ke sini." Sahutnya ringan sambil dengan tegas tetap melarang pemasangan pot itu.
Masalah pembersihan trotoar itu sendiri kemudian justru menimbulkan ekses negatif. Beberapa lokasi yang biasanya menjadi tempat berdirinya warung atau usaha lain - fotokopi, tambal ban, wartel - kemudian justru menjadi tempat berkumpul sejumlah pemuda kampung sekitar untuk melakukan acara mabuk-mabukan sampai pagi. Tentu saja hal ini sangat meresahkan para pedagang, mahasiswa dan penduduk sekitar.
Keresahan mereka ini pun dipertegas ketika beberapa hari kemudian petugas penertiban sekali lagi datang, dan benar-benar melakukan penggarukan tanpa mengenal belas kasihan. Ironisnya saat itu Ribut Wijoto yang menjadi Koordinator Paguyubanb PKL Jl. Airlangga tidak tahu-menahu kalau gerobaknya ikut diangkut dan dihancurkan karena dia sendiri tengah menjadi pembicara dalam sebuah diskusi mengenai nasib PKL. Waktu itu Mak Mursinah masih sempat menyelamatkan gerobaknya namun tetap tidak berani berdagang dengan harta warisan suaminya itu. Lewat satu minggu sejak penggusuran Mak Mursinah hanya menjual kopi dan minuman lainnya secara sembunyi-sembunyi.
Puncak keresahan PKL yang sangat dirasakan oleh mahasiswa kemudian meledak dalam acara penutupan Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional yang diadakan di halaman Rektorat UNAIR dua minggu setelah penggusuran terjadi. Para mahasiswa resah itu mengambil alih acara penutupan PIMNAS berupa pentas siang itu dengan meneriakkan yel-yel. Para mahasiswa itu menyatakan kalau PIMNAS kali ini telah mengorbankan banyak kepentingan orang kecil. Adegan ini segera akan ditutup oleh para panitia yang terdiri dari beberapa pembantu dekan dan pembantu rektor, kalau tidak dicegah oleh Heru. Saat itu juga sebagian peserta dari universitas-universitas lain turut ambil bagian, menyatakan sikap mendukung gerakan mahasiswa peduli PKL dan mengecam tindakan pihak pimpinan Universitas Airlangga yang menurut mereka hanya mengedepankan prestige tanpa mengindahkan nasib orang-orang kecil korbannya.
Mak Mursinah hanya sempat mendengar dari kejauhan, hatinya berdebar-debar di antara harapan dan keputusasaan.
"Mau gimana lagi, Mas." Mak Mursinah menunduk kelu. "Orang mereka yang punya kuasa, kok. Mereka yang jadi penggede (pejabat)."
Beberapa minggu sejak itu Mak Mursinah mulai berani berdagang kecil-kecilan tanpa gerobak. Selama itu pula cucu Mak Mursinah, Rojak, tidak berangkat sekolah. Kelihatannya Mak Mursinah harus berhitung cukup keras untuk bisa menyekolahkan lagi cucunya itu. Tanpa gerobak, tanpa tenda, Mak mencoba bertahan hidup dengan dagangannya di Surabaya. Bila siang panas menyengat mereka tertunduk lemah di bawah lindungan sengon berulat yang bulu-bulunya bisa membuat kulit terasa panas dan gatal. Bila hujan datang, siang atau malam, Mak bersama Rum dan Rojak hanya meringkuk, seperti tiga anak ayam yang menggigil kedinginan, di bawah selembar kecil plastik tipis tembus pandang.
Permasalahan pedagang kaki lima (PKL) Surabaya yang menyebabkan Surabaya semrawut, kumuh, dan menjengkelkan warga kota adalah ulah preman-preman. Preman-preman ini bermain mata dengan oknum aparat pemerintahan, sekaligus memanfaatkan PKL untuk kepentingan pribadi.
Menurut Rifa'i, PKL di Margomulyo yang dibongkar paksa oleh Pemkot dan polisi, juga terkait dengan ulah preman. Preman-preman ini semula menghubungi oknum kelurahan setempat. Mereka mencari surat izin ke Kecamatan dan Pemkot untuk memanfaatkan lahan-lahan tertentu. Setelah izin keluar suratnya digandakan dan "dijual" kepada PKL. Selanjutnya, setiap PKL yang mendirikan bangunan di Margomulyo diminta membayar Rp 1 juta. Bangunan itu ternyata bukan untuk PKL, tapi untuk rumah tinggal. Bangunannya dibuat permanen dan kuat sehingga seperti rumah tempat tinggal lainnya. Ketika izinnya habis mereka tidak membongkar bangunannya. Berbekal surat izin dari Pemkot yang diberikan para preman itulah, mereka ngotot tidak mau pindah dari Jl. Margomulyo.
Kasus yang sama terjadi di Jagir sebelah timur gedung Pertamina. Awalnya ada enam orang preman yang menghubungi pemilik lahan kosong di sana. Enam orang ini meminta izin kepada pemilik lahan untuk tempat PKL. Setelah mendapat izin ternyata tanah kosong itu tidak untuk PKL, tapi untuk rumah tempat tinggal. Ketika pemiliknya akan memanfaatkan lahannya, muncullah masalah. Warga yang telanjur membangun rumah permanen di tanah kosong itu enggan pindah. Mereka beralasan sudah membayar kepada untuk menempati lahan itu.
Demikian juga yang terjadi di Jl. Tunjungan. Sejumlah preman menghubungi oknum kelurahan dan kecamatan. Setelah oknum kelurahan itu mengeluarkan surat izin untuk berjualan di sana, preman-preman ini menarik "pajak" kepada PKL di sana. Bahkan lahan di sana disewakan kepada PKL.
Semula iuran PKL ke preman ini murah, tapi ketika lahannya dinilai bagus, mereka menaikkan iurannya. Bahkan untuk satu lahan PKL dikenai iuran Rp 1 juta/bulan sehingga bila dikalkulasi setahun mencapai Rp 12 juta. Bahkan bila lokasinya lebih strategis iuran untuk preman mencapai Rp 15 juta/tahun.
"Itulah ulah preman. Jadi bukan semata PKL saja yang salah. PKL justru dibuat tameng untuk mengeruk keuntungan pribadinya. PKL yang dijadikan sasaran," ujar Rifai.
PKL menurut Rifai, tidak mungkin berulah macam-macam. Mereka ini tidak punya uang, tapi justru selalu dijadikan sapi perah preman dan oknum Pemkot.
Solusi
Masih menurut RifaĆ¢??i, masalah PKL di Surabaya harus dicarikan solusi yang tepat. Terutama untuk mengentaskan masalah pengangguran dan kemiskinan. Bila dua permasalahan ini belum bisa dipecahkan sangat sulit menata PKL dengan baik.
Sebenarnya, menurut RifaĆ¢??i, kalau Pemkot mau menata secara serius terhadap PKL bisa mendapatkan masukan dana miliaran rupiah per tahun. Jumlah PKL di Surabaya ini mencapai sekitar 86 ribu PKL. Bila PKL ditata rapi dan ditarik iuran sebesar Rp 500/hari, maka Pemkot akan mendapat masukan dana sekitar Rp 34 juta/hari. Artinya dalam sebulan Pemkot mendapatkan pemasukan dari PKL sebesar Rp 102 juta atau sebesar Rp 1.254.600.000/tahun.
Sebelum ada solusi yang manusiawi, Pemkot Surabaya hendaknya menghentikan aksi penggusuran para PKL. Untuk itu, masyarakat telah mengusulkan beberapa solusi, seperti relokasi ke lahan tidur, masuk ke dalam kampus atau halaman kantor dan mal. Demikian rekomendasi yang dihasilkan dalam acara Dialog Publik Solusi Alternatif PKL Surabaya, Sabtu (9/2). Acara yang menyoroti sikap Pemkot Surabaya yang belakangan terkesan sangat agresif terhadap PKL ini diselenggarakan Pusat Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Airlangga (Unair), Forum Studi dan Advokasi Mahasiswa (Forsam) Fakultas Hukum Unair, dan Dewan Rakyat Surabaya (Deras).
"Kami tunggu solusi nyata dari pemerintah," kata Bambang Budiono, Ketua Pusham Unair yang menjadi moderator. Hadir dalam dialog publik itu sekitar 30 PKL, belasan mahasiswa, Asisten II Wali Kota Soeboko, Johan Silas dan Wisjnubroto dari Dewan Kota Surabaya, serta L Soepomo (F-PDIP DPRD Tingkat I Jatim). "Sayang tidak ada anggota DPRD Surabaya yang datang, padahal sudah diundang," kata Bambang Budiono.
Soeboko menyatakan, pemerintah sedang mempersiapkan dua solusi, yaitu jangka pendek dan menengah. Solusi jangka pendek, mengadakan dialog dengan kampus-kampus agar PKL yang tadinya berada di sekitar kampus ditampung di dalamnya. Menurut dia, pihaknya telah bekerja sama dengan beberapa mal dan plaza di Surabaya, termasuk Taman Hiburan Rakyat (THR) dan Plasa Surabaya.
"Masalahnya, begitu tempat yang sudah dipersiapkan ditempati, yang lain akan datang juga," kata Soeboko. Jumlah PKL di Surabaya per Maret 2001 adalah 27.500 orang, sekitar 2.500 di antaranya adalah PKL binaan.
Namun, jumlah versi pemkot ini berbeda dengan data Dewan Kota Surabaya yang disampaikan Wisjnubroto. Menurut dia, di Surabaya terdapat 86.000 PKL. "Kalau sehari omzet mereka Rp 50.000 per orang, bayangkan berapa jumlah uang yang berputar," katanya.
Wisjnubroto menawarkan solusi penertiban yang tidak hanya dilakukan oleh pemkot, tetapi lebih ke tingkat kelurahan dan kecamatan. Penertiban itu terutama terhadap PKL di trotoar dan jalur hijau, dilakukan dengan mengedepankan dialog dengan paguyuban.
Hingga saat ini Pemkot Surabaya hanya menawarkan solusi pengaturan jam buka bagi PKL. Solusi ini dipandang tidak realistis, karena tidak ada pembeli. Namun Soeboko membantah, karena PKL yang berjualan pada malam hari di kawasan Pandegiling barang dagangannya juga masih laku.
"PKL bisa direlokasi ke lahan tidur, atau proyek-proyek yang selama ini mangkrak," tambah L Soepomo.
Masalah relokasi juga dianggap tidak realistis. Menurut Ahmad, PKL dari Jalan Pahlawan, Surabaya, pada dasarnya PKL itu mencari pasar. Relokasi tidak akan bermanfaat, karena PKL akan kembali ke tempat ia bisa menemukan banyak pembeli.
Dalam diskusi ini bahkan juga sempat tercetus pertanyaan, mengapa Pemkot Surabaya tiba-tiba kelihatan sangat ingin menggusur PKL.
"Seakan-akan kita sekarang ini hendak dibelokkan dari isu sampah dan banjir," kata Sholeh, salah seorang peserta. Sholeh khawatir isu PKL ini dimanfaatkan kalangan tertentu, mengingat yang memberi izin PKL di Surabaya adalah Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang oleh DPRD telah dilengserkan.
Solusi? Apapun bentuknya boleh ditawarkan dengan mulut berbuih-buih di meja diskusi. Pemerintah pun hanya mengucapkan janji-janji dialog melulu. Sedang Mak Mursinah masih menunggu nasibnya bergantungan di bawah sengon depan Kampus B UNAIR, bilangan Airlangga Surabaya, seperti ulat bulu di atasnya. Mak Mursinah menggigil kedinginan, seperti ulat bulu menunggu metamorfosa datang dari langit. Entah, langit yang mana....

Ihwal Waru Doyong

disebabakan kawan yang mulai membuat catatan maya, saya pun turut tergoda mencoba. dan pilihan jatuh pada sebuah bentuk pohon waru yang 
doyong alias condong. pohon waru, kata orang, merupakan simbol cinta. itu lantaran 
bentuk daunnya yang seperti hati.  selain itu, waru merupakan nama daerah 
di mana saya bertempat rumah. lalu doyong? 
itu hanya sebuah bentuk keadaan 
di mana arah ranting dan daunan pohon yang bisa dijadikan peneduh. 
bukan sebuah lambang keruntuhan. bukan pula keberpihakan. 
untuk itu, jika ada berluang waktu, sudilah mampir di ruang mayaku. 
semoga bermanfaat.