Jumat, 01 Februari 2008

Naskah Teater Keluarga


PANTAI


BABAK I

Malam. Tepi pantai. Latar mengambarkan bulan, mercuasuar, dermaga kecil, perahu-perahu. Digambar dengan garis sederhana. Peti kayu, dahan dengan ranting-rantingnya tanpa daun.

Gun :(Melihat sekeliling) Kita masih belum begitu lama menikmati pantai ini.
Margareth :Hanya sisi pantai ini yang belum kita nikmati.
Gun :Sedikit berbeda.
Margareth :Sepertinya bukan tempat ini yang berbeda.
Gun :Kau inginb mengatakan sesuatu?
Margareth :Ah, tidak. Hanya naluriku mengatakan sesuatu yang tak biasa.
Gun :Kau memang suka bercanda.
Margareth :Bagimu naluri cuma kesadaran dari daging yang asing. Gurauan tak penting dan tak perlu diambil pusing. Kamu selalu beranggapan seperti itu sejak pertama kita mulai dekat. Kedekatan yang membuatku semakin bertanya-tanya tentang sikap berpikirmu yang berakar dalam keangkuhan.
Gun :Tak ada yang lebih membingungkan dari sikap curigamu sejak kita berangkat bersama kesini.
Margareth :Kau mengalihkan pembicaraan.
Gun :Jangan berlebihan, sayangku. Udara laut membuatmu sedikit tertekan.
Margareth :Lebih mudah menyalahkan alam daripada melirik ke dalam benak kita.
Gun :Baiklah, mungkin malam hanya mengirimkan dingin. Keputusasaan kita lebih berbahaya.
Margareth :Aku tahu yang kau inginkan dari pelesiran ini. Ada sebuah pesan yng ingin diucapkan, tapi kepengecutan atau sesuatu yang lebih parah dari itu sedang membungkammu. Maafkan cara bicaraku.
Gun :Jangan mempermasalahkan cara. Aku suka kau seperti itu, membuatku tak bisa melupakanmu. Aku hanya ingin berjalan bersama disini. Dalam malam yang asing seperti biasa kita lalui.
Margareth :Aku kurang sentimentil untuk hal-hal seperti itu. Akan lebih menyenangkan kalau kita duduk-duduk di penginanapan sambil menunggu sesuatu yang salah datang dan kita dengan bersemangat mencatatnya di atas ranjang. Bukankah kita sudah terbiasa? Kebiasaan yang menyebabkan kekhawatiran-kekhawatiran kita menjadi lebih menggairahkan.
Gun :Waktunya kurang tepat untuk hal-hal seperti itu.
Margareth :Tampaknya usia membuatmu semakin menyedihkan. Aku tahu kalau kau sedang mengimpikan saat-saat yang menurutmu lebih membuai kelemahan hatimu. Tebaka-tebakan kecil tentang hidup dan kematian dalam kepalamu lebih menyibukkanmu dibanding sesuatu yang lebih terhormat.
Gun :Aku mungkin telah lupa tentang apa yang disebut terhormat. Yang akau ingat hanya betapa kau telah menyekapku dengan keindahan yang mencekam dan membuatku tak memerlukan lagi bayang-banyang yang kau sebut keindahan itu.
Margareth :Terima kasih atas ketidakpedulianmu. Kau hanya membayangkan kesunyian yang membutakan.
Gun :Untuk perkara ini akau yakin sekali.
Margareth :Itulah masalahmu, kau terlalu yakin.
Gun :Keyakinan lebih penting dari meminta maaf atas kekeliruan yang pernah kita lakukan.
Margareth :Aku tampak seperti memohon sesuatu yang tak mungkin? Seperti kata maaf?
Gun :Dari matamu.
Margareth :Dari mataku?
Gun :Ya.
Margareth :Sia-sia kau menilaiku.
Gun :Tidak.
Margarerh :Ah, itu memang kau!
Gun :Mungkin. Sebab sejak kebutuhanku pada dirimu, sedikit mengikis kepastian-kepastian dalam kepalaku. Tapi itu bukan kessalahanmu. Orang memerlukan sedikit cinta agar dirinya tetap ada.
Margareth :Kau bicara cinta?!
Gun :Sepertinya begitu. Cuma menyagkut cinta aku tak yakin akan kata-kata yang kuucapkan. Mestinya ada keputusasaan manusia yang lebih penting dari sekedar cinta.
Margareth :Lalu kau sebut apa saat-saat bersamaku? Kau hanya malu mengakui. Sudut-sudut penginapan yang yang biasa kita singgahi seperti meneriakkan sesuatu yang aneh tentang hubungan kita. Aku percaya itu disebabkan kesedihan-kesedihan yang kau bawa, lalu kau berusaha meyakinkanku untuk tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Tapi aku dapat merasakan kelemahan hati seseorang yang telah gagal memperoleh impian-impiannya. Itu yang tampak jelas di kerut wajahmu, dan sangat jelas sekali. Bukankah begitu?
Gun :Kau memang meliki perasaan yang lebih tajam dari peramal yang pernah kutemui beberapa waktu lalu sepulang kerja. Aku mulai khawatir jika kau mulai seperti dia. Akhirnya perasaan-perasaan yang mengendalikan tatapan matamu.(Melihat ke atas) Aku tidak suka tatapan bulan itu. Sepertinya dia juga terlalu peka dengan suasana hati.
Margareth :Dia tidak bersalah. Dia hanya menyaksikan kapal-kapal karam di laut ini. Kapal-kapal yang tak tahu betapa bencinya laut pada keangkuhan.
Gun :Kapal-kapal karam. Aku suka itu. Setidak-tidaknya ada keberanian ikut berlayar bersama mereka. Mungkin bukan laut, tapi peri-peri yang menyanyikan buaian telah melenakan mereka. Atau mungkin laut terlalu cinta pada kapal-kapal itu hingga menarik mereka ke dasarnya yang tenteram.
Margareth :Sayangku, sifat melankolismu yang aneh yang membuatku tertarik padamu saat pertama kita bertemu. Anak-anakku mengira dirimu manusia yang baru muncul dari taman-taman dalam dongeng.
Gun :Itu yang ingin kubicarakan. Alasanku mengajakmu berlibur saat ini untuk menyeka kembali ingatan-ingatan kita. Aku tahu, tahun-tahun hubungan kita yang serba rahasia ini melahirkan dongeng-dongeng yang ingin kita percayai akan adanya cinta di dalamnya. Suamimu hidup dalam dongeng yang lebih parah lagi. Aku bukan mencoba untuk melebih-lebihkan.
Margareth :Kini kaku bicara tentang suamiku.
Gun :Setidak-tidaknya kau masih istrinya.
Margareth :(Mencibir) Betapa murah hati dirimu.
Gun :Kau tahu aku selalu membawa ini dalam dompetku? (Mengeluarkan foto dari dompet saku) Dia juga kawanku. Sengaja aku membawa ini untuk mengingatkan diriku kalau bukan hanya sedang bercinta dengan istrinya. Tapi akau juga sedang menjelaskan pad diriku sendiri, betapa terasingnya aku dari moralitas.
Margareth :(Tertawa) Kau memang menyedihkan! Moralitas dalam tanganmu menjadi begitu tragis. Orang aneh sepertimu mencurangi kawan sambil berpikir perbuatannya bukan sesuatu yang serius.
Gun :(Tersenyum) Aku sepakat dengan sifat tragis moralitas. Lebih menakutkan lagi, aku menggenggam sambil menertawakannya.
Margareth :(Memegang tangan Gun) Kekacauan ini sangat menggairahkan.
Gun :Hanya saja rasa berdosa ini sedikit meneyesakkan.
Margareth :Rasa berdosa membuat kita selalu ingin hidup. Kau, aku, dan suamiku pernah mengalami saat-saat menyenangkan bersama-sama. Waktu itu tidak ada pikiran melakukan semua ini denganmu.
Gun :Waktu menjebak kita.
Margareth :Hitungan. Waktu hanya hitungan. Kekeliruan ada pada sentuhan-sentuhan kita yang tak pernah kita sadari akan berubah rumit. Kecuali kita memang sepakat itu semua kekeliruan. Seperti anak-anak yang dipermainkan mainannya. Bahakan mereka lebih baik dari kita. Kesepakatan denagn nasib, kesepakatan dengan gelapnya usia menggiring kita hingga ke pantai ini. Kau pasti baru menyadarinya saat ini. Aku telah menghitungnya dari dulu. Kau pasti mengira aku perempuan tanpa pertimbangan yang matang bukan? Kesedihanmu hanya sedikit dari debu keanggunanku. Keliaranmu hanya cukup untuk gadis-gadis muda, bukan untuk perempuan yang telah melewati ribuan atau tak terhitung kata dari laki-laki sepertimu.
Gun :(Tersenyum) Bahakn ribuan mmawar tak pernah menaklukkanmu.
Margareth :Bagiku cukup mengenang taman-taman, jalan, stasiun, tempat kita menanam kecurangan ini sebagai satu bagian jejakku. Kekebebasanku tak mengizinkan kesedihan menyelinap meski demi persoalan seperti ini.
Gun :(Sinis) Mengagumkan sekali.
Margareth :Kau boleh menertawakanku kalau kau mau.
Gun :Aku tak pernah menertawakanmu. Kau sangat mempesona saat kesombonganmu mengharu-biru. Pantai imelengkapi kekerasan ahtimu. Karang di dalam dirimu memperindah percakapan ini.
Margareth :Percayalah, kau memang sedang menertawakanku. Karena kau sendiri tak pernah memahami tiap hembusan nafasku. Kau hanya memahami lagu-lagu musim dingin.
Gun :Aku selalu ingin memahamimu, tapi kau sibuk dengan sikap menutup dirimu. Mengaharapkan kehangatan darimu hanya sia-sia. Tubuhmu terlalu dingin untuk mengatakannya.
Pause
Margareth :Tamasya ini cocok buat mereka yang kehilangan sedikit jiwanya. Tapi aku mengharapkan lebih, kau juga. Kita telah kehilangan lebih dari sekedar jiwa. Kita kehilangan rasa percaya (duduk di atas peti kayu). Aku membiarkanmu menyalahkan diriku atas semua kesia-siaan. Barangkali kau sedang mencari alasan yang kau anggap masuk akal dan setelah itu menyeberangi beberapa laut lagi untuk menemukan dirimu. Laki-laki sepertimu tak pernah lelah menguliti diri, hingga nyeri dirasakan dan dianggapnya sebagai kenyataan dirinya. (Melihat pohon) Burung-burung memiliki saat berdiam di sarangnya. (Menoleh ke arah Gun) Apa yang kau cari?
Pause
Fade black


BABAK II

Kedai tepi pantai, 3 buah meja kecil, masing-masing dengan 2 bangku. Meja dengan beberapa botol minuman diatasnya. Lanskap gambar wanita, tokoh komunis, dan sepeda motor.
Jean dan Jim duduk di meja yang sama. Di seberang, Gun sedang duduk termenung dengan segelas kopi.

Jean :Minuman disini tak pernah lebih enak lagi.
Jim :Lidah kampungmu saja yang tak bisa membedakan cita rasa.
Jean :Sebagai mantan opsir yang pernah pernah bertugas di semua belahan benua, aku tak terkalahkan soal selera dibanding pemabuk-pemabuk murahan yang pernah berkunjung kesini.
Jim :Pengalaman bisa menipu. Tetap saja cita rasa diperoleh lewat keranjingan dan bantuan kecerdasan.
Jean :Orang tua dungu sepertimu bicara kecerdasan. Habiskan saja minumanmu, aku mau pesan yang lain. Uang pensiunku cukup untuk membeli lima gentong anggur terbaik yang tak akan kau dapatkan selain jika kau duduk disini bersamaku. Aku telah merekomendasikan beberapa katalog minuman bermutu buat pemilik kedai ini.
Jim :Anggur bisa lebih lezat dari ciuman gadis-gadis yang baru menyambut pelaut-pelaut turun kapal kemarin.
Jean :Biarkan logikamu jernih dari pikiran-pikiran seperti itu. Cita rasa muncul dari sikap dingin yang mematikan, bukan sekedar gairah.
Jim :Ah, kau tetap rendah diri. Jangan kau menyiksa diri dengan menampik keindahan gadis-gadis. (Mendekatkan kepalanya ke arah Jean) Kita boleh tua, tapi kegenitan kita harus menjadi legenda (tersenyum).
Jean :Aku memang tak pernah bicara banyak tentang nafsu-nafsu, tapi seharusnya kau yang telah lama bersamaku bisa merasakan denyutnya dalam setiap cara berpikrku yang dingin itu. Karena aku sendiri meragukan, apakah aku memang dingin atau sedang melarikan diri. Jangan bicara aneh-aneh lagi!
Jim :Kita sudah terlanjur aneh.
Jean :Jangan mengira kau dapat berputar-putar dengan premis yang tak dapat disangkal.
Jim :(Tertawa) Kau membuatku terpingkal-pingkal.
Jean :(Cemberut) Orang kasar sepertimu hanya boleh berpikir untuk memiliki daging-daging. Kerja kerasmu di siang hari cuma berbekas di dinding gang-gang gelap. Tak lebih baik dari ikan.
Jim :Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.
Jean :Apa?!
Jim :Berjanjilah, kau tak akan marah.
Jean :Jangan mengolok-oloku.
Jim :Berjanjilah.
Jean :Baik.
Jim :(Diam sebentar) Apakah kau menyesal telah meninggalkan perempuan yang pernah kita temuui bersama waktu kita bertugas di pulau perbatasan itu? Kau mengatakan padaku, entah ingatanku tepat atau tidak, akan menikahinya meski harus meninggalkan keuntungan untuk dapat memperoleh jabatan yang lebih menarik jika kau ditugaskan diluar pulau terpencil itu. Aku harap kau mau menjawabnya dengan jujur.
Jean :Pertanyaan yang tidak menarik.
Jim :Tak masalah jika kau tidak mau menjawab.
Jean :(Diam sebentar) Ini sebenarnya pertanyaan mudah tapi sulit dijawab. Kau berjanji tidak akan menanyakannya lagi? Kenanganku akan perempuan itu telah menjadi harta karun dalam hidupku.
Jim :Aku paham itu.
Jean :Mari kita bicara sebagai pesakitan yang mengangkat wajah meski siksaan jelas-jelas menghancurkan tulang kerangka harga diri kita (mengangguk-angguk).
Jim :Sekedar persoalan cinta, siapa yang perlu air mata?
Jean :(Tertawa) Kita memang telah tua. Saraf-saraf kita terpahat sedemikian rupa dan air mata tak akan mengikisnya. Biarkan saja, biarkan jika air mata mesti ada. Tetap saja hanya kita yang memahami apa makna didalamnya. Pecundang-pecundang seringkali lebih mengerti makna kemenangan.
Jim :Keangkuhan yang indah.
Jean :Siapapun akan menyesal jika harus meninggalkan seseorang yang dicintainya. Biar kedai ini yang sekarang mendekapku. Kehangatan minuman-minuman ini menggantikan lengan lembut perempuan itu. Tak sama memang, tapi setidak-tidaknya minuman-minuman ini tak membingungkanku.
Jim :Aku pasti akan berpikir sama denganmu (menenggak minumannya dengan singkat).
Pause
Jean :Kau tak ingin mencari tanah baru lagi di sisa usiamu ini? Aku tidak mengajukan penawaran, tapi saat melihat laut aku merasakan ada suara kemerdekaan hatiku di seberang sana. Menyusun kembali kemarahan, itu sekarang yang aku perlukan. Kemarahan membuatmu abadi. Sejarah adalah tumpukan kemarahan.
Jim :Dan berakhir dengan kekecewaan? Aku suka mengikuti parade-parade kematian serdadu-serdadu perang laut yang gugur untuk alasan apa saja. Mereka hilang dan tak perlu nisan untuk mengenang mereka. Kenangan sejati perlu diberikan bagi mereka yang tak butuh mata orang lain untuk mengatakan bahwa mereka pernah ada. Aku selalu mempersembahkan penghormatan paling hikmat diantara hadirin yang berisak-tangis. Air mata terlalu mudah.
Jean :Mari kita minum untuk mereka (mengangkat gelas)
Jim mengangkat gelas. Toast.
Pause
Jean :Dimana anak-anakmu sekarang? Saat terakhir aku bertemu, mereka membicarakan rencana melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah hebat. Sekolah hebat yang aku ketahui telah melahirkan banyak pemikir dan penipu. Aku sangat mengagumi semangat anak-anakmu mendapatkan akal sehat. Jangan bilang aku sedang melucu.
Jim :Kau laki-laki jantan, mustahil tidak lucu.
Pause
(Melambaikan tangan kepada gadis pelayan) Aku biarkan mereka mencari jalan mereka sendiri. Sambil berharap, lazimnya orang tua kebanyakan, anak-anakku menjadi orang dengan kepala penuh ambisi. Kebanggaan, maksudku.
Jean :Dapat dimengerti.
Jim :Buku-buku dapat meruibah watak mereka hingga mereka bosan dengan diri sendiri. Wawasan memprluas keragu-raguan dan kekosongan. Ambisi yang akan mengisinya.
Jean :Dapat dimengerti. Dan aku yang akan mengisi gelas-gelasmu (menuangkan minuman ke dalam gelas Jim).
Jim :Lama sekali kita tidak menikmati minuman yang lezat.
Pelayan mendatangi meja mereka.
Jean :Biar aku yang bayar kali ini. Kau pasti mengantuk sekali. Pulanglah, istrimu kurang beruntung mendapatkan suami peminum. Istri kesepian bisa menjadi lubang kutukan. Kau bisa berada di cerita buruk nanti. Pulanglah.
Jim mencibir.
Jean :(Kepada pelayan) Pastikan ia mendapatkan pelayanan terbaik meski aku tidak sedang bersamanya. Ia pantas menerimanya.
Jim :Kau suka berkata manis kepada gadis-gadis. (Menghela napas) Baiklah, sekarang aku undur diri. Jaga dirimu baik-baik. Jangan tersesat ke kamar-kamar wanita yang sedang ditinggal kekasih mereka berlayar. Mereka dapat menggerogoti tabunganmu. Sampai jumpa.
Jean :Sampai jumpa.

Pelayan keluar.
Jim keluar.
Pause. Sedikit lebih lama. Hening.
Jean melambai kepada pelayan.
Pelayan masuk.

Jean :Aku ingin kau buatkan segelas rhum untuk laki-laki yang sedang duduk sendiri itu (memberi tanda ke arah Gun).
Pelayan keluar, beberapa saat kemudian kembali dengan segelas minuman.
Pelayan :Pria di meja itu memesankana untuk anda (menunjuk tempat Jean duduk. Jean memberi salute kepada Gun). Sepertinya ia sedang merasa gembira malam ini.
Gun :Katakan padanya, aku tidak minum. Tapi khusus buat dia, aku akan menghabiskan gelas ini.
Pelayan pergi ke meja Jean dan berbisik kepadanya. Jean mengangguk-angguk. Ia menuju meja Gun. Pelayan keluar.
Jean :Malam yang tepat untuk mendapatkan rekan baru. Jean (mengulurkan tangan).
Gun :Senang berkenalan dengan orang pemurah seperti anda (menjabat tangan Jean).
Jean :(Melirik cangkir Gun) Hmm, laki-laki yang dapat mengendalikan diri. Anda pasti seorang muda yang sangat serius. Saya tidak berusaha sok tahu. Maaf.
Gun :Sebaliknya. Saya seorang pecundang yang bersembunyi dengan wajah tenang. Saya tidak bermaksud kasar (tersenyum ramah).
Jean :Ah, sesuai sekali dengan saya (tersenyum lebar). Boleh saya duduk bersama anda?
Gun :Saya akan senang sekali.
Jean duduk
Jean :Tidak ada pembicaraan filsafat bukan? Anda seperti orang dengan profesi yang membutuhkan kekerasan nalar. Saya membenci kekerasan dalam bentuk apapun, meski dibalut dengan kalimat-kalimat mesra.
Gun :Anda memulainya dengan keramahan khas penduduk sini. Langsung ke arah pribadi tapi tidak perlu dicurigai. Saya serorang pegawai di sebuah lembaga keuangan. Tidak terlalu penting, nhanya sekedar rutinitas yang perlu saya kerjakan disana. Pekerjaan rutin membuat wajah saya terlihat wajar. Orang-orang kota memerlukan kesan wajar agar dapat hidup normal. Saya memulai pekerjaan pada jam-jam seharusnya dan pulang pada jam-jam yang seharusnya. Saat ini saya berlibur.
Jean : Menyenangkan sekali hidup dengan cara anda. Tanpa kerumitan dan logis.
Gun : Akhir-akhir ini saya sedikit kehilangan nalar.
Jean : (Tertawa) Jangan khawatir, semua orang pernah mengalaminya. Anda berlibur sendirian?
Gun : Bersama teman perempuan.
Jean : Ah!
Gun : Tepatnya, sedang bersama istri seseorang (tersenyum kecut).
Jean : (Tertawa keras) Jarang sekali ada orang sesinis anda. Bukan menghina, tapi sinisme yang anda miliki bisa dianggap sebagai modal berpikir yang dapat mencerahkan kemalangan-kemalangan.
Gun : Saya sedang merasa, anda tidak begitu jauh nasibnya dengan saya.
Jean : Sedikit banyak bisa dikatakan seperti itu.
Gun : Pernah mengalami saat-saat sulit bersama perempuan? Saya yakin anda dapat memahami maksud saya.
Jean : (Tersenyum) Tidak diragukan lagi. Mari kita memandang perbincangan kita setelah ini sebagai usaha mengendalikan kewarasan kita akibat pengalaman-pengalaman rumit. Saya pikir seluruh pengunjung yang pernah duduk di kedai ini pernah mengalami situasi seperti anda. Mungkin berbeda dalam ukuran dan cara mereka menertawakan pemecahannya.
Gun : Perempuan yang bersama saya saat ini menginginkan seluruh jiwa saya. Anda tak akan pernah mengira jika pada amkhirnya nasib kita akan berakhir dengan seseorang yang salah.
Jean : Cinta tak dapat disalahkan. Itu yang biasa dikatakan gadis-gadis.
Gun : Apakah anda memiliki pengalaman dengan perempuan? Dalam definisi yang lebih resmi, bukan sekedar menambahkan kisah-kisah ringan ke dalam riwayat hidup anda.
Jean : Malam yang aneh. Saya baru saja duduk bersama seorang kawan yang mencoba menginterogasi saya tentang perempuan. Kisah lama memang, tapi terukir begitu tajam. Hingga bayang-bayang saya selalu jatuh diatasnya. Anda begitu meyakinkan dalam soal ini, bahkan kawan saya tadi tidak mampu melewatinya.
Gun : Tampaknya kedai ini tempat pengakuan dosa bagi laki-laki.
Jean : (Tersenyum lebar) Sayang sekali, dosa menjadi catatan berharga disini. Kami menaruhnya dalam pigora paling mewah. Bukannya kami bangga dengan dosa-dosa, tapi kesuramannya menantang orang untuk menjilatinya. Pahitnya menjadi manusia adalah larutan yang berasal dari sana.
Gun : Keyakinan yang pernah saya dengar.
Jean : Ketukan menimpa dahi dan pundak orang-orang, dan meminta untuk mengakui agama sebagai sandiwara bagi semua mahluk-mahluk malang itu. Saya katakan sebagai kutukan karena agama menawarkan surga bagi keledai-keledai.
Gun : Saya juga pernah mendengar itu. Saya sendiri masih menyukai keragu-raguan yang terarah. Tentu ini pandangan pribadi, karena keraguan membuat saya menerima samarnya kenyataan. Termasuk juga kesamaran perasaan perempuan yang sedang menjalin kesepakatan busuk dengan saya.
Jean : Anda orang kasar yang mencerahkan. Kali ini kata-kata anda mirip penyair pemula yang kurang cukup diolah tapi menjanjikan. (Pause) Hasrat saya pada perempuan yang pernah saya cintai itu bukan sebuah kisah ringan. Saya mempertaruhkan kehormatan diatas meja nasib dengan harapan dia akan menerima cinta bersama seluruh luka yang pernah saya alami dalam perjalanan. Ternyata kehormatan tak cukup. Dia meminta saya menyerahkan keberadaan ini yang tak mungkin saya dapatkan lagi. Keberadaan yang saya miliki sejak lahir. Keberadaan sebagai mahluk dengan ketidakpastian dan kebebasannya. Maksud saya, dia menginginkan saya untuk berkehendak, bermimpi, memilih kehidupan yang meskipun itu sia-sia. Anda pasti memahami yang saya maksud dengan kesia-siaan. Kesia-siaan yang membebaskan. Saya tidak menyukai kontradiksi dalam berkata-kata, tapi anda pasti dapat memaklumi bahwa pengetahuan kita selalu berlubang. Garis nasib saya telah mengarah kepada kepuasan mendiami kesunyian dan cukup kedai ini menjadi neraka yang indah.
Gun : Ketidaklengkapan pengetahuan kita membuat tahun-tahun menebarkan keindahannya. Permainan dengan langkah yang serba mungkin. Hitungan nafas kita lenyap bersama koran-koran pagi, sementara anak-anak lahir layaknya kecambah. Semua yang terlahir akan menemukan pantai dan akhirnya hanya bisa termangu didepannya. Kapal-kapal menyambut dan membawa ke arah yang tak pernah tahu. Yang tak pernah diragukan lagi, kita akan berkendara diatas gelombang kematian.
Jean : Hanya saja, terlalu remeh jika kita memberikan kritik mendasar atas kematian. Nalar terlalu berharga untuk sekedar membahas hal-hal pasti, karena cuma membuat langkah kita berputar-putar saja. Kematian terdengar menarik bagi mereka yang telah bosan dengan tarian-tariannya.
Gun : Dan saya ingin katakan pada anda, tarian saya bersama perempuan itu akan segera berakhir. Setelah liburan ini, saya akan melanjutkan mencari negeri yang musin-musimnya bersahabat dengan hati saya yang telah membatu. Api yang dulu menyala dalam diri saya meminta korban hubungan cinta ini.
Jean : Cahaya-cahaya dapat lenyap dan kewarasan kita boleh terpuruk. Karena memang itu yang terjadi di kedai ini. Hanya saja, ada batas yang dapat kita rasakan dan sentuh dan ada dalam diri kita. Batas yang terlarang bagi yang lain untuk melewatinya.
Pause
Keabadian. Semua menginginkannya, dan untuk memperolehnya diciptakanlah nama-nama. Saya boleh katakan, cinta tak memiliki nama. Dan jika saat itu telah datang anda bisa lepaskan balutan luka.
Pause
Fade black

Epilog

Gun duduk diatas peti kayu memandangi selendang putih.
Fade black

Jean duduk dengan botol minuman diatas meja dengan lanskap matahari terbenam, memegang gelas sedang menatap pantai sendirian.
Fade black

Margareth berdiri di tepi dermaga dengan membawa koper dan tas seperti sedang bersiap pergi.
Fade black


NB: Naskah ini pernah dipentaskan di Fakultas Sastra Unair.