Senin, 17 Maret 2008

Komentar Tentang F Aziz Manna

Kesederhanaan, Bahasa Puisi, dan Imajisme
Oleh Indra Tjahyadi

Bahasa puisi memanglah bahasa yang indah. Akan tetapi, ia tidaklah harus berarti hiperbolis. Dalam kata lain bahasa puisi, bisa saja terjadi dari bahasa-bahasa yang terkesan sederhana sekali. Misalnya dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Emily Dickinson, Joko Pinurbo atau Ezra Pound.
Dalam puisi-puisi karya mereka, bahasa yang hadir seakan-akan mencerminkan suatu kesederhanaan, tanpa adanya usaha untuk melebih-lebihkan, pendeknya: terkesan non-hiperbolis. Meskipun demikian, hal ini tidaklah dapat secara serampangan dikatakan bahwa puisi-puisi mereka minim imaji. Sebab dengan memaksimalkan kesederhanaan berbahasa, imaji-imaji yang muncul dalam puisi-puisi mereka justru terkesan tajam dan tidak basa-basi.
Ini adalah hal yang mengherankan. Seperti juga yang terlihat pada puisi Bertolt Brecht yang berjudul ”Schicke mir ein Blatt” (”Tinggalkan Sehelai Daun Untukku):
Bila kau pergi merantau
Berangkatlah, aku akan terus
Menantimu di sini.
Namun tinggalkan sehelai daun
Untukku, yang kau petik dari
Ranting pohon mawar di jendela
Kamarmu.
Agar aku tidak terlalu rindu.
(1996: 9)
Kesan yang sama, dalam lapangan perpuisian Indonesia saat ini, juga dapat ditemui dalam puisi-puisi karya Medy Loekito. Salah satunya pada puisinya yang berjudul ”Iowa River”:
mengalir sungai
pada angin yang memberi
mengalir waktu
pada usia yang mencari
(2003: 132).
Nama Medy Loekito adalah sebuah nama yang tidak asing lagi dalam lapangan perpuisian Indonesia saat ini. Ia bahkah terhitung salah satu dari sekian nama besar penyair perempuan Indonesia terkini. Meskipun bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya, seperti pada puisinya di atas, terkesan sederhana. Akan tetapi ia dapat dengan maksimal mengimajikan apa yang ia tangkap dari sebuah sungai Iowa. Begitu juga pada puisi-puisi karya F. Azis Manna dalam kumpulan puisinya Kumelambungkan Cintaku (Gapus, 2003). Cobalah saja tengok puisinya yang berjudul ”Surau”:
suara itu begitu akrab didengar
tanpa sadar, ia menirukannya
pelan-pelan dan tertahan—
ia teringat ayahnya
waktu dikuburkan.
(2003: 9)
Kesederhanaan bahasa puisi disertai penukikan ke alam imaji yang demikian ketat, yang diperlakukan oleh Bertolt Brecht, Medy Loekito ataupun F. Azis Manna melalui puisi-puisinya tersebut jelas-jelas mengingatkan saya pada gagasan puisi Imajis.
Dalam puisi Imajis, pemaksimalan minimalitas bahasa dibarengi dengan penukikan ke arah imaji. Sehingga bahasa puisi terkesan hadir dengan semangat kesederhanaannya. Dick Hartoko dan B. Rahmanto dalam bukunya Pemandu di Dunia Sastra berpendapat bahwa pada puisi-puisi aliran Imajis ini terdapat sebuah pengaruh dari simbolisme Prancis, puisi-puisi Cina dan juga puisi haiku Jepang (1986: 63). Untuk kasus pengaruh puisi haiku Jepang dalam puisi Imajis, yang digunakan bukanlah acuan persajakan-persajakan yang telah tetap dan konvensional, melainkan tenaga-tenaga asasi yang telah menghidupi puisi haiku Jepang.
Hal ini disebabkan, merujuk pada Subagio Sastrowardoyo, kebanyakan penyair Imajis memang telah menerima pengaruh persajakan haiku. Hal ini, menurutnya, diperlihatkan pada kehematan dalam menyampaikan ekspresi pada puisi-puisi Imajis, serta pembatasan pada satu kesan atau perasaan saja yang juga menjadi asas pengucapan sajak haiku Jepang.
Pada larik-larik puisi karya F. Azis Manna tersebut dapatlah dilihat kelugasan bahasa yang dipergunakan F. Azis Manna dalam puisinya tersebut, guna untuk menghadirkan imaji. Hal ini menimbulkan efek kesan bahwa puisi F. Azis Manna tersebut hadir dengan bahasa yang biasa. Meskipun demikian hal tersebut bukan berarti mengurangi ketajaman imaji yang coba untuk dihadirkan oleh F. Azis Manna dalam puisinya tersebut.
Kesan penggunaan bahasa yang biasa, dalam artian tidak hiperbolis, pada puisi F. Azis Manna yang berjudul ”Surau” tersebut justru menimbulkan efek gambaran imaji yang tajam. Keinginan F. Azis Manna untuk menghadirkan gambaran imaji tentang seorang anak pada penguburan ayahnya ketika ia mendengar suara adzan, justru hadir secara tepat dengan penggunaan bahasa yang terkesan biasa dalam puisinya tersebut.
Hal ini mengingatkan saya pada teori ”a direct treatment of the thing” dari gagasan puisi Imajis. Maksudnya, bahwa dalam puisi-puisi Imajis, gambaran imaji hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan ”the thing”. Dan untuk mencapai hal tersebut, puisi-puisi Imajis memakai bahasa yang biasanya terkesan biasa, dan bebas dari paksaan metrum.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Subagio Sastrowardoyo, dalam bukunya yang berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1983: 13) berpendapat, bahwa hal tersebut di atas terjadi karena puisi-puisi Imajis menginginkan agar puisi dapat meng-image kesan-kesan dan perasaan, yakni dengan membayangkan pengalaman-pengalaman tersebut secara konkret dan keinderaan dengan pemberian batas-batas lukisan yang jelas dan tegas.
Dalam puisi Imajis bayangan dunia lahir harus diterima di dalam yang lahir itu juga. Dalam puisi Imajis, bayangan yang objektif dan keinderaan sering tidak memperkenankan penafsiran kepada makna-makna yang abstrak. Subagio Sastrowardoyo berpendapat, bahwa hal tersebut dikarenakan subjek puisi Imajis cenderung mencukupkan diri pada satu kesan atau perasaan saja dengan tidak disangkutkan pada pengalaman-pengalaman yang lebih luas dan dalam (1983: 14).
Sampai di sini, saya tiba-tiba teringat dengan salah satu puisi karya Gu Cheng, salah seorang penyair terkenal RRC, yang berjudul ”Garis Lengkung”:
Seekor unggas di tengah badai
Cepet-cepat mengubah arah
Seorang remaja memungut
Satu sen
Dalam fantasi pohon-pohon anggur
Menjulurkan belalainya
Ombak ketika surut
membungkukkan punggungnya
(Kalam, edisi 4-1995: 125).
Keinginan yang menggebu dari Gu Cheng untuk menghadirkan gambaran imaji tentang garis lengkung dalam puisinya tersebut tidak memperkenankan munculnya interpretasi yang abstrak atas bayangan objektif dan keinderaan yang ingin disampaikannya. Sehingga gambaran imaji sebuah garis lengkung yang ingin dihadirkan Gu Cheng pada puisinya yang berjudul ”Garis Lengkung” tersebut menimbulkan pemahaman bahwa bayangan dunia lahir harus diterima di dalam dunia lahir itu juga.
Meskipun Imajis menyukai puisi-puisi yang pendek dengan mempergunakan kata-kata yang setepat-tepatnya dan sehemat-hematnya, serta cenderung untuk menekankan diri pada pengalaman konkret, bukanlah berarti bahwa puisi-puisi Imajis telah kehilangan daya kontemplatif sebuah puisi.
Dengan penggunaan puisi-puisi yang pendek dan tajam sifatnya, serta adanya keyakinan dalam puisi Imajis bahwa inti sari sebuah puisi adalah konsentrasi, justru membuat puisi-puisi Imajis hadir dengan daya kontemplatif puisi yang tak kalah besar dan tingginya. Bahkan hal tersebut bagi pembacanya, dalam menghadapi puisi-puisi Imajis, demikian mungkin untuk tidak dapat menghindarkan diri dari penafsiran yang abstrak, bersifat religi atau filsafat, karena terbawa oleh suasana dan angan-angan yang dihidupkan di dalam diri pembaca oleh bayangan di dalam puisi. Seperti yang terlihat puisi karya F. Azis Manna, dalam kumpulannya tersebut, yang berjudul ”Senggama”:
ranting
patah
jatuh
menancap di tanah
sunyi tertembus suara
(2003: 8).
Atau juga pada puisinya yang berjudul ”Uzlah I”:
musim kemarau datang
dari selatan angin kencang
meliuk di dahan
menerbangkan bulu-bulu
bunga randu
seorang tua di tepi jalan raya
(2003: 10).
Meskipun kedua puisi karya F. Azis Manna tersebut pendek (masing-masingnya berisi 5 larik dan satunya lagi 2 bait dengan bait terakhir yang hanya berisi 1 larik), pun dengan bahasa yang terkesan minim hiperbolis sekali, akan tetapi dengan daya konsentrasi yang tinggi yang diakibatkan oleh tajamnya gambaran imaji yang coba dihadirkan oleh F. Azis Manna dalam kedua puisinya tersebut, membuat puisi-puisi karya F. Azis Manna tersebut hadir dengan daya kontemplatifnya yang demikian terasa kuat.
Pada akhirnya, bahasa puisi tidaklah melulu selalu menggunakan bahasa yang hiperbolis, melainkan lewat kesederhanaannya pun sebuah puitisasi bisa saja terjadi seperti yang terlihat pada puisi-puisi dengan gaya. Meskipun puisi Imajis ini, pada mulanya, hadir sebagai reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan unsur emosionalitas yang teramat besar pada khazanah perpuisian pada masa Perang Dunia (PD) I. Dan pada mulanya, ia merupakan sebuah gerakan dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika menjelang PD I. Puisi Imajis ini dipengaruhi oleh T.E. Hulme dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Selain kedua nama tersebut, Imajis juga diwakili oleh Amy Lowell, Richard Aldington, Hilda Doolittle, Jhon Goold Fletcher dan FS Flint. ***

Indra Tjahyadi, penyair, esais, Staf Pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Tidak ada komentar: