Jumat, 23 Mei 2008

Beberapa Komentar Lagi

/1/
Penyair paling mutakhir, F. Aziz Manna. Wartawan nakal dengan puisi binal. Puisinya kaya dengan kelincahan ritmik yang beberapa tahun terakhir ini dalam sastra Indonesia jarang dijumpai karena dianggap sebagai sejenis permainan kurang serius. Sungguh pemikiran yang menggelikan. Puisi Aziz Manna merupakan teladan tentang kecerdikan tipografi, keutuhan nuansa, akurasi, ritme, transformasi makna ke dalam narasi, kesetiaan pada gaya, dan keberanian. Meski jelas masih ada kesembronoan disana-sini, tapi bisa dimaklumi karena garis besar penampilan puitiknya memberikan cita rasa tersendiri.
Dimulai dengan Bismillah, keindahannya langsung terasa dengan harmoni terukur rapi dan santri. Rumah yang menghadap rel kereta, tidak diragukan lagi menunjukkan persepsi lingkungan yang tajam dan kesentausaan urban hadir dengan waktu yang menggilir perubahan sosial; sejak semula sejarah// sepertinya aku mendengarmu// mengisyratkan sesuatu// dekat, lekat pada pintu. Dalam Lumpur Kata tergambar bagaimana sebuah sajak muncul begitu saja apabila penyair memiliki kepekaan yang sangat kuat atas apa yang terjadi disekitarnya, yang jelas; apa yang kau rasa// seluruhnya// benar apa adanya. Kemerdekaan kaum urban pinggiran dalam menikmati setiap jengkal kota seringkali lebih kaya dan melewati pemahaman seorang perencana tata ruang atau pengusa kapital yang melihat sesuatunya dengan skematis. Indische, perasaan post-kolonial yang berpadu dengan keingin-tahuan masa kanak-kanak. Tidak istimewa tapi menyegarkan.Yang istimewa, Cerita Bapak. Karya ini tidak berpretensi menjadi hyper-ballad, hanya saja orang tidak bergidik melihat sejarah revolusi yang gagal di negeri ini pada masa itu sebagaimana digambarkan puisi tersebut jelas tidak lebih manusiawi dibanding ‘sebongkah batu dibawah pohon akasia’. Singkatnya, puisi-puisi Aziz Manna memberikan kenikmatan membaca yang dapat dipahami sesuai dengan tingkat pembacaan masing-masing konsumen.(Nu’man “Zeus” Anggara dalam tulisan Zaman Di Sebuah Warung Kopi)

/2/
Membaca “Siti Surabaya” F. Aziz Manna, saya dapati adalah semacam pakai formula, tapi tidak se-formulaik baku pantun tentunya. Sebelum sampai simpulan:

semua meninggalkan
seperti laut yang surut
ah anakku, prajuritku
dengar-lihatlah
laut masih gemuruh
lajulah laju perahu
lajulah laju

Siti lahir dan bertualang sepanjang lima halaman lebih, dari keluarga sampai dengan dermaga, menghabiskan waktu dan tenaga, untuk memroses dan melewati lorong waktu. Dari Siti Jamilah (atau “indah” sebagai lambang inosensi) sampai menjadi Siti di dermaga (siap berangkat lagi). Dalam memroses dan melorong waktu itulah saya bandingkan dengan “sampiran”. Tapi jika sampiran pantun simetris, harmonis, nyaris sempurna, sebanyak dua baris; sampiran “Siti Surabaya” dalam kategori modernisme: asimetris, disharmoni, kemungkinan chaos.

Bayangan visual: seluruh petualangan Siti Surabaya/Surabaya Siti, paling tidak segala verbal adventures-nya, masuk dalam “food processor” atau “tabung jam pasir” untuk diproses/digiling dan dilorot lorong-sempit-waktu, sehingga meneteskan hikmah. Dan hikmah tidak harus menunggu sampai simpulan di bait akhir, justru di tengah proses dan lorong sempit waktu hikmah itu menetes-netes sepanjang petualangan: Siti Surabaya = Surabaya Siti (plesetan dari City), bisa kota bisa perempuan, bisa warisan bisa obralan, bisa pesta bisa kuburan. Siti dan City bertarung bertukar, seperti dalam kiasan wayang: mencolo putro mencolo putri, loncat sana loncat sini. “Bajing loncat” bukan sekedar kiasan kriminal tetapi juga kiasan dinamika manusia urban. Dan pilihan ke modernisme harus menanggung takdir anti-kemapanan, paradoksal, kontroversial, provokatif, subversive, atraktif. Sebagaimana wujud seni kontemporer: sebagai bentuk komentar sosial yang mengkonfrontasi publik dengan apa yang tidak mereka ketahui, atau dengan apa yang sebenarnya diketahui tetapi tidak mereka harapkan: Siti kembali merindu jaman dolanan anak-anak:

Ji walang kaji…sutu nang kali bagong nang embong…siti jaluk rabi tak olehna kucing garong (aslinya barangkali “kucing gorang” = kucing kerah, kucing bertengkar); bersanding nyanyian “advertising me”: batang waru buat gagang palu/jangan mulu masuk saja kamarku; Siti dan City jumpalitan; dari Gentengkali sampai Ujung yang Baru; Siti kampungan; nyanyian dangdutan konotasi kampung senukan/pelacuran; Kembang yang Kuning; pasar maling Pasarturi; Tanjung berwarna Perak; City mendengkur Siti ngelindur; Siti tersimpuh…City di belakang punggungnya; semuanya itu terjadi atas kehendak (Kehendak=Takdir?). Simpulan: City berhenti, Siti siap bertolak. (Akhudiat dalam tulisan Mengantar Kumpulan Puisi Mesin & Hantu)