Selasa, 15 Januari 2008

Naskah Monolog


A L I B I
S. Jai



Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat.
Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi.


MALAM HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU BESAR MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA SAJA. DI ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH DARI LANGIT. MENGGENGGAM SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN KURSI MALAS. SEPASANG SEPATU. BEBERAPA BAJU TERGANTUNG DI KAPSTOK DEKAT PINTU. BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.



BAGIAN PERTAMA

LAMPU FADE IN PANGGUNG KANAN. SUASANA TEGANG MENCEKAM. SESEORANG MEMAINKAN SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA SAMUDERA. SULUK AMUK. SENANDUNG MERONTA.

SESEORANG: (SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena kusengaja, tapi ia menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa permisi.
SESEORANG: Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu kuat-kuat.
SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk?
SESEORANG: Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.
SESEORANG: Atau keluar dulu baru masuk.
SESEORANG: Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?
SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali.
SESEORANG: Ya, begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.
SESEORANG: (SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri hadir persis di depanku.

BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR MENGANGKAT TUBUHNYA

SESEORANG: Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini. Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku. Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi. Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.

SADAR DARI AMUK. MELOMPAT. MEMBERSIHKAN TUBUHNYA.

SESEORANG: Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang makin kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya?

MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI. MEMERIKSA PINTU.

SESEORANG: Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di luar sana saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini. Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi aku rasa cukup aman untuk sementara aku sembunyi dari orang-orang jahat itu. Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan buldozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani.

MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU

SESEORANG: Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang meraung-raung. Jadi benar-benar untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan seperti itu. Ya, kadang-kadang ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan bila malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya, lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malu-malu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer itu.

TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN.

SESEORANG: Apa? Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat dengan suatu kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi daripada kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang bisa anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng. Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya kotbah moral untuk anak-anak bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah. Anak-anak tidak tahu bahwa dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak. Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang berdiri gagah di depan ini. Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: nyali, keberanian.

KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI LAYAR

SESEORANG: Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu, siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun. Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira, pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya. Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi bukan.

SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS. KEPADA DIRINYA SENDIRI.

SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu? Pertanyaan itupun tak pernah kutemukan jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan. Aku juga tidak jadi lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, Aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa aku ini? Seperti ini, yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan?

KEPADA PENONTON

SESEORANG: Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan menunggu di luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku. Silakan-silakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai. Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis dengan kenyataannya.

DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU BERTUBI-TUBI

SESEORANG: Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar sedikit dong. Sssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benar-benar mewujudkan niatnya: Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya. Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku. Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apa-apa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh, lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia itu makan-makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu muncul, aku ingin memulai mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu airnya. Sruputttt…..

MENOLEH KE LUKISAN BESAR SEBENTUK LAYAR. PANGGUNG MULAI MENYATU

SESEORANG: Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga. Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku, itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur? Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.

PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS MIMPI - KENYATAAN

SESEORANG: Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau bukan aku yang bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa, masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru. Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan.
Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu memvonis aku orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorangpun lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu, dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagasan-gagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perut besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia.

TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS. DITANGKAP. DIMAINKANNYA DARI SISI PANGGUNG SATU KE SISI PANGGUNG LAIN.

SESEORANG: Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku jadi bisa berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini. Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya.

SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA

SESEORANG: Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya. Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya, bersenjata? Masak yang begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula.

MELEMPAR BOLA TINGGI-TINGGI. LALU SIBUK MENCARI KERTAS-KERTAS. MEMBACA.

SESEORANG: Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini. Dusun Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia. Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah digali itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu terjadi menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus Susianto Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu semula diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulang-belulang yang baru ditemukan itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat.

GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.

SESEORANG: Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa, tanpa sempat berpikir, tiba-tiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang. Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?

MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK

SESEORANG: Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku. Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa mengguncangkan jagad. Yang benar saja!

MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU PENA DITANCAPKAN DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA

SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih tajam dari sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparaan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegub kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahun-tahun untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku tak bisa. Mula-mula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat. Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia. Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?

TERTAWA NGAKAK

SESEORANG: Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi.

TERCENUNG

SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian, betapa dunia ini sungguh kejaammm.

TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI

SESEORANG: Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga, negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30 tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun berkata “He asu! Minggir!” Aku katakan binatang itu bukan asu tapi kambing. Baru kemudian ia mengulang perkataannya “He kambing, minggat!” Anehnya, suatu hari tanpa perasaan apa-apa becak yang saat itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja berteriak “He, asu!!!!”

TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS MENANGIS.

SESEORANG: Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi. Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk menghasut melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya terhadap anda sendiri.

LAMPU BLACK OUT



BAGIAN KEDUA

MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN. LAMPU FADE IN. NYANYIAN FADE OUT. PANGGUNG SISI KANAN SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK PISANG. MEMELUKNYA. MENGENDARAINYA. MENGAJAKNYA BICARA. BERGANTIAN.

SESEORANG: (SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan.
SESEORANG: (SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya. Bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta?
SESEORANG: (SULUK) Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta.

MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN

SESEORANG: Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan. Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa manusia. Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri , bagaimana pembunuhan, saling bunuh itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di luar kuasa manusia. Aku menarik nafas panjang dan dalam, sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuh aku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan? Mana yang benar?
SESEORANG: Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.
SESEORANG: Apa pendapatmu tentang bunuh diri?
SESEORANG: Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini, sepanjang belum menemui jalan baru.
SESEORANG: Begitu?
SESEORANG: Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.
SESEORANG: Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita jangan lagi bicara kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.
SESEORANG: Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh, sama-sama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.
SESEORANG: Kamu belum jawab pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?

MEMBUNGKUK KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.

SESEORANG: Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya menggelisahkan apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan semuanya, juga pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang kehidupan yang hanya itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung merosot karena kamu kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai cara—ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup. Kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk meyakininya. Lalu bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh diantara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.

TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN TERJENGKANG.

SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.
SESEORANG: Tidak aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.
SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi aku?
SESEORANG: Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.
SESEORANG: Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh diri.
SESEORANG: Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.
SESEORANG: Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang kemudian kunjung sanggup membunuhnya?
SESEORANG: Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup waras.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG: Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.
SESEORANG: Lalu dimana kamu berada
SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?

MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN DIRI DARI SEGALA BEBAN.

SESEORANG: (SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih menakutkan dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp konsentrasi Jerman.

MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG BERNOSTALGIA

SESEORANG: Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan gamblang di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba. Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang mimpi itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku. Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu. Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di dalamnya.
Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tidak sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan memang punya jantung dan hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran atau tidak. Punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tak ada teror urusan hidup mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Tidak ada. Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak awal dan jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.
Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu? Bedanya aku hanya diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak memperkenalkan kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari. Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi orang mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung stateskop di lehernya, sembari mengucapkan “maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin” kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Ya, meskipun yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.

SESUATU TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI

SESEORANG: Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah Anda siapa salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang paling ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada sesi berikutnya.

MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN

SESEORANG: Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan pembelaanku.

MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.

SESEORANG: Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu, apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada seperti ini

BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA PENUH BEKAS LUKA

SESEORANG: Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya perlihatkan pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Jadi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci, si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang? Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.

MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE RUANGAN SEBELAH.

SESEORANG: Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan ngintip, ah.

BERGEGAS MENDEKATI PINTU. MENYAMBAR BAJU DAN SEPATU. MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT. LALU BERSIAP PERGI.

SESEORANG: Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah, saya harus hentikan sementara ocehan saya.

LAMPU BLACK OUT.




BAGIAN KETIGA

LAMPU FADE IN. DI PANGGUNG SISI KANAN BERDIRI SESEORANG MENGENAKAN SERAGAM KANTOR. LENGKAP DENGAN SEPATU DAN DASI.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya, kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu. Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga dengan saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun pembuktian saya, oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anak-istri anda juga tenang di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.

SESEORANG: Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah perintahnya dan saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya, bagaimana bila ibu saya tiada.

MENUTUP MULUTNYA

SESEORANG: Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langka, tapi jadi tidak aneh setidak-tidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya, anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini, yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar menjadi anak ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma kata-kata, buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu. Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu tapi bangga. Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang. Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis jawa.

SESEORANG: Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan “malu dengan bangga.” Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan saya yang sungguh “bangga dengan kemaluannya.” Mereka-mereka seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya, tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.

SENTIMENTIL

SESEORANG: Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya seorang gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan keberadaan istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya bawakan itu perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didi Kempot, kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi Kempot itu, (menyanyi). Sri kapan kowe bali. Lungamu ora pamit aku. Jarene menyang pasar pamit tuku trasi, tapi kowe lungo ora bali…Ndang balio Sri, ndang baliooo… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan saya itu menyanyi lagu lain.. ndang mlumaho Sri, ndangmlumahoo.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap negara apalagi terhadap keluarga saya. Karena itu saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.

MELEPAS SEPATU. JADI BOTOL MINUMAN KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.

SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan. Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan, Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu. Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pimimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!

SESEORANG: Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang ia raih kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakan kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “Tindakan yang merugikan keuangan negara,” padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anak-anak muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di sekolah-sekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi di sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga lho, Yang Mulia.

SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI SEPASANG SEPATUNYA

SESEORANG: Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang segenerasi saya dan Yang Mulia Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah. Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.

MELEMPAR SEPATU KE ATAS.

SESEORANG: Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa terjaga. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu di mana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya kecuali bagi mereka yang teraniaya. Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya ruarrr biasaa!!!!

MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN MENARI

SESEORANG: Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira gambarannnya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot. Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.

BERHENTI MENARI

SESEORANG: Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau empat kali begitu. Suatu saat pasti tersesat. Saya bisa saja memilih jadi da’i atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan. Karena saya percaya masing-masing punya azas kebebasan, kesamaan hak dan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak bisa menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan?

SESEORANG: Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah sebaliknya, mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi, sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang. Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada saya. Memang itu ia lakukan secara diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum.

SESEORANG: Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa. Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun. Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya. Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam, amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya. Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau, kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda, sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing, hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang, itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri. Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu, akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang utama.

MUSIK PARODI MENGIRINGI.

SESEORANG: Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.

BERLAGAK SOPAN

SESEORANG: He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan Biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan. Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok. Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu bagaiamana nikmatnya bermain chatting. He...he…he.. Sambil saya belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu. Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai. Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah diberikan kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal. Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.

TABLAU BEBERAPA SAAT

SESEORANG: Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tak perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju seperti ini (mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos rokok! Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk malam ini ia rupanya perlu membaca naskah karena lupa.

SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN MEMBACA NASKAH

SESEORANG: Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia. Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan? Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden?

SESEORANG: Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka.
SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara?
SESEORANG: Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.
SESEORANG: Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.
SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa. Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing dan kita tetap saja miskin.
SESEORANG: Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna.
SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing.
SESEORANG: Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah.

KEMBALI MENDEKATI PINTU. KEMUDIAN MENGINTIP KELUAR LAGI.

SESEORANG: Wow cantiknya dia! Pitzaaaaa!!!!

MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU SEBENTUK BABI-BABIAN. HINGGA SESUATU MENGHENTIKANNYA.

SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu! Oh, tunggu sebentar ibu!

SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG KACAU

SESEORANG: Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu, tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus yatim piatu.

KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK MEMBAHANA. LAYAR DITARIK KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR RUNTUH MENUTUP SEKUJUR TUBUH. MENGGELIAT-GELIAT. BERTERIAK-TERIAK.

Tolong! Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut kehabisan darah. Aku bisa mati percuma.

LAMPU BLACK OUT

SELESAI
Surabaya, Mei 2004



TENTANG PENULIS

S. JAI pengarang kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1972. Menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga, tahun 1998. Beberapa cerpennya masuk antologi Kami di Depan Republik dan Istighotsah Tanah Garam. Keduanya diterbitkan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB). Novelnya Tanah Api pada bulan Mei 2004 telah diterbitkan penerbit LKiS, Yogyakarta. Kini tinggal di dekat pegunungan Kapur Lamongan Selatan.
NB: Naskah ini pernah dipentaskan di Unair dan Untag Surabaya dan dimainkan oleh F Aziz Manna bersama grup Teater Keluarga Surabaya.

Rabu, 02 Januari 2008

Syair Lagu Pentas Monolog Alibi Teater Keluarga Surabaya

nyanyian kesunyian
(nyanyi sunyi di padang ilalang)
lirik: Jai
lagu: Widi Asy’ari

ada sebuah jalan yang panjang
di sisi hamparan padang ilalang
tanpa seekor pun makhluk Tuhan
kecuali kami se belalang terkapar
yang bertahan hidup dalam kesunyian

kesunyian menjadi kawan
ketika waktu berlalu dan menerjang
diam-diam menghunjamkan anak panahnya
di jantung kami

kesunyian menjadi jerit
saat musik jiwa meronta dan meradang
setiap kali memecahkan wajah langit
dengan suara

wahai… ruh hidup
di sepanjang jalan di hamparan padang
kami menemui setiap yang pesakitan
dengan kesangsian

di jalan yang panjang kami temukan
nyanyian tanpa teriakan dendam
di jalan yang panjang kami temukan
nyanyian tanpa teriakan dendam

bernyanyilah engkau bernyanyilah
sebelum kehormatanmu tenggelam
berdendang engkau berdendanglah
sebelum kesabaranmu menghilang.



rumah keong
lirik: W. Haryanto
lagu: Widi Asy’ari

bila bahtera terpuruk kecut dan lelah
karena tuak tercium pada dini hari
seg’ra teriak mengharap kemudi kelasi
memberi pelindung dari amarah badai

lepaslah burung-burung mandul mata tumbang
tiada makna melekat di petualangan
segera membersihkan bekas-bekas cinta
muatan lengang memang sulit menyadari

Reff:
sorban kini pembungkus tebu
malam mengetuk pintu
larut kesal meraba langgam
tidak lekas menarik keris

tiada kentara buih bisu tak menyapa
tuan salah alamat anggrek tak bisa jinak
karena mahar tak nampak muka yang mengharap
selain cibiran pada pendatang teluk

permainan berai peranku yang berbenah
menumpuk tafsir nanah tanda keris yang manis
kembali pada almanak gapura Jawa
kulit bawang berserak pada pasir tanah

(kembali ke Reff)


penglaju
lirik: Jai
lagu: Widi Asy’ari

perempuan tua sibuk bekerja
sampai di sebuah pinggiran kota
merayakan setiap hasil jerih payahnya
laku tak mampu menyapu lapar sendiri
sedang anak-suami di rumah lama menanti

mengajak tidur setiap lelaki
sambil berkisah tentang sisa umur yang telah basi
menghabiskan malam dalam kesunyian
sambil mengenang-ngenang kebahagiaan yang terbeli

perempaun bekerja tetaplah perempuan
tataplah hari depan dengan dagingmu dan ruhmu
perempaun bekerja tetaplah perempuan
tataplah hari depan dengan dagingmu dan ruhmu

berceritalah, berceritalah
engkau yang melahirkan peradaban
berceritalah, berceritalah
biarpun engkau ditenggelamkan zaman