Senin, 17 Maret 2008

Komentar Pentas Teater Keluarga di Media

Pentas Monolog Alibi di Surabaya
Koran Tempo, Senin, 21 Maret 2005

Surabaya - Teater Keluarga dari Surabaya akan menggelar pementasan monolog di Universitas 17 Agustus Surabaya pada Senin (21/3) pukul 19.00. Pentas berjudul Alibi ini merupakan rangkaian pementasan keliling ke beberapa kota di Jawa Timur, seperti di Universitas Brawijaya Malang, Dewan Kesenian Lamongan, dan Dewan Kesenian Bangkalan.

Dalam produksi kali ini, Teater Keluarga berkolaborasi dengan beberapa pekerja teater yang selama ini meramaikan dunia teater Surabaya, seperti sutradara S. Jai, mantan pekerja teater dari Bengkel Muda Surabaya, aktor F. Azis Manna dari Teater Gapus Fakultas Sastra Universitas Airlangga, serta beberapa pekerja teater dan pemerhati seni dan teater di Surabaya.

Lakon ini menuturkan masalah korupsi, dengan perspektif keluarga. Dari ihwal keluarga, yang mendasar pada peran bapak, dimulailah persentuhan dengan simpul-simpul kehidupan. Tentang hubungan antara bapak dan anak, istri, tetangga, masyarakat, negara, ilmu pengetahuan, bahkan dengan kebudayaan.

Konsep teater berdurasi 180 menit ini adalah "teater tutur" yang mengadopsi beberapa model pertunjukan tradisional, seperti konsep dalang, terutama wayang kulit dan kentrung. Berbagai ornamen pertunjukan tradisional dilibatkan, seperti masuknya jejer dan suluk.(f dewi ria utari)

Komentar Tentang F Aziz Manna

Kesederhanaan, Bahasa Puisi, dan Imajisme
Oleh Indra Tjahyadi

Bahasa puisi memanglah bahasa yang indah. Akan tetapi, ia tidaklah harus berarti hiperbolis. Dalam kata lain bahasa puisi, bisa saja terjadi dari bahasa-bahasa yang terkesan sederhana sekali. Misalnya dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Emily Dickinson, Joko Pinurbo atau Ezra Pound.
Dalam puisi-puisi karya mereka, bahasa yang hadir seakan-akan mencerminkan suatu kesederhanaan, tanpa adanya usaha untuk melebih-lebihkan, pendeknya: terkesan non-hiperbolis. Meskipun demikian, hal ini tidaklah dapat secara serampangan dikatakan bahwa puisi-puisi mereka minim imaji. Sebab dengan memaksimalkan kesederhanaan berbahasa, imaji-imaji yang muncul dalam puisi-puisi mereka justru terkesan tajam dan tidak basa-basi.
Ini adalah hal yang mengherankan. Seperti juga yang terlihat pada puisi Bertolt Brecht yang berjudul ”Schicke mir ein Blatt” (”Tinggalkan Sehelai Daun Untukku):
Bila kau pergi merantau
Berangkatlah, aku akan terus
Menantimu di sini.
Namun tinggalkan sehelai daun
Untukku, yang kau petik dari
Ranting pohon mawar di jendela
Kamarmu.
Agar aku tidak terlalu rindu.
(1996: 9)
Kesan yang sama, dalam lapangan perpuisian Indonesia saat ini, juga dapat ditemui dalam puisi-puisi karya Medy Loekito. Salah satunya pada puisinya yang berjudul ”Iowa River”:
mengalir sungai
pada angin yang memberi
mengalir waktu
pada usia yang mencari
(2003: 132).
Nama Medy Loekito adalah sebuah nama yang tidak asing lagi dalam lapangan perpuisian Indonesia saat ini. Ia bahkah terhitung salah satu dari sekian nama besar penyair perempuan Indonesia terkini. Meskipun bahasa yang digunakan dalam puisi-puisinya, seperti pada puisinya di atas, terkesan sederhana. Akan tetapi ia dapat dengan maksimal mengimajikan apa yang ia tangkap dari sebuah sungai Iowa. Begitu juga pada puisi-puisi karya F. Azis Manna dalam kumpulan puisinya Kumelambungkan Cintaku (Gapus, 2003). Cobalah saja tengok puisinya yang berjudul ”Surau”:
suara itu begitu akrab didengar
tanpa sadar, ia menirukannya
pelan-pelan dan tertahan—
ia teringat ayahnya
waktu dikuburkan.
(2003: 9)
Kesederhanaan bahasa puisi disertai penukikan ke alam imaji yang demikian ketat, yang diperlakukan oleh Bertolt Brecht, Medy Loekito ataupun F. Azis Manna melalui puisi-puisinya tersebut jelas-jelas mengingatkan saya pada gagasan puisi Imajis.
Dalam puisi Imajis, pemaksimalan minimalitas bahasa dibarengi dengan penukikan ke arah imaji. Sehingga bahasa puisi terkesan hadir dengan semangat kesederhanaannya. Dick Hartoko dan B. Rahmanto dalam bukunya Pemandu di Dunia Sastra berpendapat bahwa pada puisi-puisi aliran Imajis ini terdapat sebuah pengaruh dari simbolisme Prancis, puisi-puisi Cina dan juga puisi haiku Jepang (1986: 63). Untuk kasus pengaruh puisi haiku Jepang dalam puisi Imajis, yang digunakan bukanlah acuan persajakan-persajakan yang telah tetap dan konvensional, melainkan tenaga-tenaga asasi yang telah menghidupi puisi haiku Jepang.
Hal ini disebabkan, merujuk pada Subagio Sastrowardoyo, kebanyakan penyair Imajis memang telah menerima pengaruh persajakan haiku. Hal ini, menurutnya, diperlihatkan pada kehematan dalam menyampaikan ekspresi pada puisi-puisi Imajis, serta pembatasan pada satu kesan atau perasaan saja yang juga menjadi asas pengucapan sajak haiku Jepang.
Pada larik-larik puisi karya F. Azis Manna tersebut dapatlah dilihat kelugasan bahasa yang dipergunakan F. Azis Manna dalam puisinya tersebut, guna untuk menghadirkan imaji. Hal ini menimbulkan efek kesan bahwa puisi F. Azis Manna tersebut hadir dengan bahasa yang biasa. Meskipun demikian hal tersebut bukan berarti mengurangi ketajaman imaji yang coba untuk dihadirkan oleh F. Azis Manna dalam puisinya tersebut.
Kesan penggunaan bahasa yang biasa, dalam artian tidak hiperbolis, pada puisi F. Azis Manna yang berjudul ”Surau” tersebut justru menimbulkan efek gambaran imaji yang tajam. Keinginan F. Azis Manna untuk menghadirkan gambaran imaji tentang seorang anak pada penguburan ayahnya ketika ia mendengar suara adzan, justru hadir secara tepat dengan penggunaan bahasa yang terkesan biasa dalam puisinya tersebut.
Hal ini mengingatkan saya pada teori ”a direct treatment of the thing” dari gagasan puisi Imajis. Maksudnya, bahwa dalam puisi-puisi Imajis, gambaran imaji hendaknya bersifat tajam, tepat dan mampu menimbulkan kontak dengan ”the thing”. Dan untuk mencapai hal tersebut, puisi-puisi Imajis memakai bahasa yang biasanya terkesan biasa, dan bebas dari paksaan metrum.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Subagio Sastrowardoyo, dalam bukunya yang berjudul Bakat Alam dan Intelektualisme (1983: 13) berpendapat, bahwa hal tersebut di atas terjadi karena puisi-puisi Imajis menginginkan agar puisi dapat meng-image kesan-kesan dan perasaan, yakni dengan membayangkan pengalaman-pengalaman tersebut secara konkret dan keinderaan dengan pemberian batas-batas lukisan yang jelas dan tegas.
Dalam puisi Imajis bayangan dunia lahir harus diterima di dalam yang lahir itu juga. Dalam puisi Imajis, bayangan yang objektif dan keinderaan sering tidak memperkenankan penafsiran kepada makna-makna yang abstrak. Subagio Sastrowardoyo berpendapat, bahwa hal tersebut dikarenakan subjek puisi Imajis cenderung mencukupkan diri pada satu kesan atau perasaan saja dengan tidak disangkutkan pada pengalaman-pengalaman yang lebih luas dan dalam (1983: 14).
Sampai di sini, saya tiba-tiba teringat dengan salah satu puisi karya Gu Cheng, salah seorang penyair terkenal RRC, yang berjudul ”Garis Lengkung”:
Seekor unggas di tengah badai
Cepet-cepat mengubah arah
Seorang remaja memungut
Satu sen
Dalam fantasi pohon-pohon anggur
Menjulurkan belalainya
Ombak ketika surut
membungkukkan punggungnya
(Kalam, edisi 4-1995: 125).
Keinginan yang menggebu dari Gu Cheng untuk menghadirkan gambaran imaji tentang garis lengkung dalam puisinya tersebut tidak memperkenankan munculnya interpretasi yang abstrak atas bayangan objektif dan keinderaan yang ingin disampaikannya. Sehingga gambaran imaji sebuah garis lengkung yang ingin dihadirkan Gu Cheng pada puisinya yang berjudul ”Garis Lengkung” tersebut menimbulkan pemahaman bahwa bayangan dunia lahir harus diterima di dalam dunia lahir itu juga.
Meskipun Imajis menyukai puisi-puisi yang pendek dengan mempergunakan kata-kata yang setepat-tepatnya dan sehemat-hematnya, serta cenderung untuk menekankan diri pada pengalaman konkret, bukanlah berarti bahwa puisi-puisi Imajis telah kehilangan daya kontemplatif sebuah puisi.
Dengan penggunaan puisi-puisi yang pendek dan tajam sifatnya, serta adanya keyakinan dalam puisi Imajis bahwa inti sari sebuah puisi adalah konsentrasi, justru membuat puisi-puisi Imajis hadir dengan daya kontemplatif puisi yang tak kalah besar dan tingginya. Bahkan hal tersebut bagi pembacanya, dalam menghadapi puisi-puisi Imajis, demikian mungkin untuk tidak dapat menghindarkan diri dari penafsiran yang abstrak, bersifat religi atau filsafat, karena terbawa oleh suasana dan angan-angan yang dihidupkan di dalam diri pembaca oleh bayangan di dalam puisi. Seperti yang terlihat puisi karya F. Azis Manna, dalam kumpulannya tersebut, yang berjudul ”Senggama”:
ranting
patah
jatuh
menancap di tanah
sunyi tertembus suara
(2003: 8).
Atau juga pada puisinya yang berjudul ”Uzlah I”:
musim kemarau datang
dari selatan angin kencang
meliuk di dahan
menerbangkan bulu-bulu
bunga randu
seorang tua di tepi jalan raya
(2003: 10).
Meskipun kedua puisi karya F. Azis Manna tersebut pendek (masing-masingnya berisi 5 larik dan satunya lagi 2 bait dengan bait terakhir yang hanya berisi 1 larik), pun dengan bahasa yang terkesan minim hiperbolis sekali, akan tetapi dengan daya konsentrasi yang tinggi yang diakibatkan oleh tajamnya gambaran imaji yang coba dihadirkan oleh F. Azis Manna dalam kedua puisinya tersebut, membuat puisi-puisi karya F. Azis Manna tersebut hadir dengan daya kontemplatifnya yang demikian terasa kuat.
Pada akhirnya, bahasa puisi tidaklah melulu selalu menggunakan bahasa yang hiperbolis, melainkan lewat kesederhanaannya pun sebuah puitisasi bisa saja terjadi seperti yang terlihat pada puisi-puisi dengan gaya. Meskipun puisi Imajis ini, pada mulanya, hadir sebagai reaksi terhadap kesamar-samaran romantik dan unsur emosionalitas yang teramat besar pada khazanah perpuisian pada masa Perang Dunia (PD) I. Dan pada mulanya, ia merupakan sebuah gerakan dalam puisi dan kritik sastra di Inggris dan Amerika menjelang PD I. Puisi Imajis ini dipengaruhi oleh T.E. Hulme dan dikembangkan oleh Ezra Pound. Selain kedua nama tersebut, Imajis juga diwakili oleh Amy Lowell, Richard Aldington, Hilda Doolittle, Jhon Goold Fletcher dan FS Flint. ***

Indra Tjahyadi, penyair, esais, Staf Pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Komentar Tentang F Aziz Manna

Manusia Tak Pernah Ada
Oleh Ribut Wijoto
Islam Liberal 28/07/2003

Sastra sufi, inilah penyangkalan terakhir dari manusia untuk memulai keberadaan yang sesungguhnya. Ash-shuufi lam yukhlaq - “Seorang Sufi adalah sesuatu yang tak diciptakan”. Sedang Rasulullah SAW pun menyangkal keberadaan dirinya; Anaa Ahmadun bi laa mim - ”Aku adalah Ahmad tanpa huruf miim”, yang berarti “Aku adalah Ahad (Esa)”.

Setelah meledak, dan amat mendominasi khazanah puisi di sepanjang tahun 1980-an, sastra sufi seakan kehabisan daya pikat. Seperti bantal yang terapung di genangan banjir, sastra sufi gagal membaca arah tuju, gagal juga menampakkan dirinya sebagai entitas yang penting.

Para pembicara semisal Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Sapardi Djoko Damono, Fudoli Zaini, dan “sang paling cemerlang” Abdul Hadi WM, seperti dukun-dukun tiban yang kehilangan pulung, hanya mampu bergerak patah terpatah. Di wilayah karya pun, entah prosa atau puisi, tidak ada pembaruan estetik atau pendalaman tema yang mengesankan.

Sejak tahun 1990-an hingga sekarang, sastra sufi memang masih punya paruh, sesekali masih terlihat mematuk, tapi ia telah kehilangan sayap. Ada memang dua penyair yang patut diperhitungkan, Jamal D. Rahman dan Acep Zamzam Noor. Dari hasil karya puisinya, kedua penyair tersebut tampak memiliki pemahaman kesufian yang mendalam dan keduanya juga mampu memamerkan daya estetik yang berwibawa. Hanya saja, pada perkembangan terakhir kepenyairannya, kedua penyair tersebut cenderung mengalihkan pertaruhan tematik pada humanisme, dan bukannya tema kesufian. Lihatlah buku kumpulan puisi Acep, Di Atas Umbria (2001). Lihat juga buku kumpulan puisi Jamal D. Rahman, Reruntuhan Cahaya (2003).

Selebihnya adalah penyair-penyair epigon puisi sufi, pola puitiknya seakan mengorek-orek dandanan lama. Ada pula beberapa penyair yang mengeksploitasi khazanah sastra sufi untuk kedok protes sosial sosial. Kesufian hanya diposisikan sebagai latar teks. Problematika sentralnya adalah humanisme, sosialisme, bahkan politik.

Sampai kemudian, saya terkesima ketika berhadapan dengan buku kumpulan puisi Ayang-Ayang (penerbit Teater Gapus, 2003) karya F. Aziz Manna. Penyair muda ini, ia lulusan pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, melakukan intensitas puitik yang aneh. Lihatlah puisi “Uzlah 1” yang saya kutip utuh berikut: musim kemarau datang, dari selatan angin kencang, meliuk di dahan-dahan, menerbangkan bulu-bulu, bunga randu. seorang tua di tepi jalan raya.

Seperti yang biasa Aziz lakukan dalam puisi, aku lirik atau tokoh aku dalam puisi absen di dalam teks. Puisi mengada tanpa kehadiran aku lirik.

Lantaran kerap dilakukan, pada buku kumpulan puisi Ayang-Ayang, saya hanya menemukan satu puisi yang menggunakan aku lirik, yaitu puisi “Kumelambungkan Cintaku”. Di puisi itu pun, aku lirik hanya tampil di dalam judul, tidak ada aku lirik dalam tubuh puisi. Bisa jadi, dan sangat mungkin benar, F. Aziz Manna sengaja menghapuskan aku lirik dalam puisi-puisi yang diciptakannya. Sebuah identitas puitik. Gejala ini bukanlah usaha baru dalam tradisi puisi di tanah air. Penyair semacam Kirdjomulyo, Sitor Situmorang, Diah Hadaning, dan lain-lain telah pernah menciptakan bentuk puisi tanpa aku lirik.

Keanehan dari puitika Aziz adalah intensitas yang tinggi dalam menghapuskan aku lirik. Saya meyakini, “puitika” atau “karakteristik puisi dan kepenyairan” dihasilkan oleh usaha yang terus menerus di dalam penciptaan puisi. Dan bukannya, usaha coba-coba dari satu-dua puisi. Di ranah yang sama, saya menyaksikan penilaian Afrizal Malna, penyair yang sekaligus apresiator puisi yang tekun, ketika menyatakan “banyak penyair wanita yang menggunakan diksi laki-laki” namun hanya Dorothea Rosa Herliany yang “intensif (dan memang berhasil!) menggarap” dalam puisi. Fenomena yang sama juga tersirat pada puisi-puisi berpola pamflet yang identik dengan kepenyairan W.S. Rendra.

Kembali kepada puisi “Uzlah 1” dari F. Aziz Manna, saya bermula pada judul puisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia jilid 3 (tahun 2001) mendefinisikan kata “uzlah” sebagai pengasingan diri yang memusatkan perhatian kepada ibadah (berdzikir dan bertafakur) kepada Allah Swt. Sebuah pengasingan diri yang sesuai dengan tradisi kesufian. Sang pelaku uzlah memosisikan diri sebagai saalik, orang yang melakukan perjalanan. Seseorang yang menjalankan suluk, mendekatkan diri kepada Tuhan. Sufistik. Ketika pengalaman, ajaran, dan perilaku mendekatkan diri kepada Tuhan dituliskan dalam bentuk puisi, maka jadilah puisi sufi.

Di sini, ada dua syarat puisi sufi; kesufian sebagai problem sentral tema, dan tradisi puisi sufi sebagai pilihan bentuk penulisan. Amir Hamzah mengaplikasikannya dalam puisi “Naik-Naik” (buku kumpulan puisi Buah Rindu): Biarlah daku tinggal di sini. Sentosa diriku di sunyi-sepi. Tiada berharap tiada meminta. Jauh dunia di sisi Dewa. Tampak nyata, Amir Hamzah memilih hidup di kesunyian-kesepian untuk hidup abadi bersama Dewa (Tuhan). Laku sufi. Penyajian puisi “Naik-Naik” ini berbeda jauh dengan puisi “Uzlah 1”.

Terjadi keutuhan dalam puisi Amir, judul dan tubuh sama-sama menyiratkan tema kesufian. Sedangkan pada puisi Aziz, judul memang menyuratkan tema kesufian, tubuh puisinya berisi tanpa sedikit pun menyebutkan tema ketuhanan ataupun peristiwa penyatuan diri kepada Tuhan. Puisi “Uzlah 1” justru merebakkan ikon-ikon dan peristiwa yang sekuler, duniawi. Dan tidak seperti Amir hamzah, Aziz Manna menghapuskan aku lirik dalam bangunan puisi. Ini perihal kurang wajar dalam tradisi puisi sufi di tanah air, mungkin juga di belahan tanah yang lain. Apakah telah terjadi keterpecahan teks antara judul puisi dengan tubuh puisi karya Aziz? Apakah makna puisi Aziz dalam kerangka tradisi (puisi) sufi?

Saya teringat sabda Rasulullah Saw tentang Ahadiyyah, “keesaan”: Maa ’arafnaaka haqqa ma’rifatika “Aku tak mengenal Engkau sampai sejauh mana aku seharusnya mengenal Engkau”. Dari sabda ini, ada rambu-rambu pengetahuan keesaan, kemustahilan manusia untuk mengenal atau menjumpai Dzaat Tuhan. Segala yang muncul di hadapan indrawi dan batin manusia hanyalah penampakan dari Shifaat (sifat-sifat) Tuhan. Ia bukanlah Dzaat Tuhan. Manusia terbatas hanya sampai pada menangkap tamsilan-tamsilan. Saya menafsirkan, F. Aziz Manna menyadari kemustahilan untuk menangkap dan menyingkap pengetahuan tentang Tuhan. Menyadari juga ketidakmampuan untuk melakukan penyatuan dengan diri dengan Tuhan. Maka yang muncul dalam puisi Aziz “Uzlah 1”, sebatas peristiwa duniawi, sekuler. Dunia keseharian atau dunia yang terhasilkan oleh indrawi kemanusiaan. Pengetahuan tentang ketuhanan berada di luar jangkauan puisi Aziz. Sesuai dengan kenyataan: “Pengetahuan tentang Diri-Nya Sendiri adalah pada Diri-Nya Sendiri dan tidak pada seorang lain pun” - Laa ya’rif Allaahu ghairu ‘llah.

Bersandar pada keesaan Tuhan, menjadi hal yang wajar, F. Aziz Manna menyajikan teks yang keduniawian bagi judul puisi “Uzlah 1”. Perbedaan antara judul dan tubuh tersebut menemukan penyatuannya dalam keterbatasan manusia berhadapan dengan pengetahuan tentang Tuhannya. Memang hanya bentuk-bentuk dari sifat-sifat Tuhanlah yang mampu ditangkap maupun dipahami oleh manusia.

Meski begitu, bentuk-bentuk keduniawian tidaklah patut untuk dikesampingkan. Tuhan telah berjanji untuk membuka tanda-tanda melalui citraan-citraan duniawi. Yang terpenting untuk ditekuni, manusia meniatkan diri untuk beribadah kepada Tuhan. Surat Haa-Miim, XLI: 53 menyatakan: Sanuriihim aayaatinaa fi’lafaaqi wa fi anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahu’l-haqqu - “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka, sehingga menjadi jelas (dimanifestasikan) bagi mereka bahwa itu (Quran) adalah kebenaran”. Saya beranggapan, puisi “Uzlah 1” adalah usaha Aziz dalam meraih kebenaran. Usaha untuk beribadah kepada Tuhan.

Judul puisi yang bernuansa keagamaan berfungsi sebagai niat sedangkan tubuh puisi yang berupa bentuk-bentuk keduniawian berperan sebagai perbuatan.

Sampai di pembahasan ini, terjemahan puisi “Uzlah 1” berbeda dengan karya Amir Hamzah, puisi “Naik-Naik”. Pada puisi Amir, ibadah kepada Tuhan hanya sebatas pada niat. Keinginan untuk tinggal di sisi Dewa (Tuhan). Pada puisi Aziz, niat beribadah kepada Tuhan dilanjutkan hingga tingkat perbuatan, yaitu pengenalan terhadap benda-benda duniawi. Ialah justru dengan cara memisahkan fenomena alam (obyek-obyek dunia) dengan muatan ketuhanan. Alam pada dirinya sendiri.

Rahasia-rahasia alam berusaha dikenali, dicermati, dan disingkapkan. Sebab alam duniawi adalah cermin dari sifat-sifat Tuhan. Diri Aziz sendiri justru melebur dalam pengenalannya terhadap alam. Aziz berada dalam keindahan. Ketika Aziz beribadah yang tampak bukanlah diri Aziz tetapi gambar-gambar duniawi. Aziz dikerubuti dan dikuasai oleh bentuk-bentuk Shifaat Tuhan sehingga diri Aziz sendiri terlupakan. Lenyap.

Di kelenyapan diri Aziz inilah saya bisa memaklumi penghapusan atau ketiadaan aku lirik. Puisi “Uzlah 1”: musim kemarau datang, dari selatan angin kencang, meliuk di dahan-dahan, menerbangkan bulu-bulu, bunga randu. seorang tua di tepi jalan raya.

Saya mendapat pengalaman aneh juga ketika mencoba mengaplikasikan puisi Aziz dalam keseharian. Berbekal puisi Aziz, memasukkan dalam diri dan mengembalikannya dalam keseharian, saya hanya mampu tersilap oleh alam sekitar. Saya menyaksikan gambar-gambar, adegan demi adegan, merasai hawa, cuaca, bau, pecahan-pecahan ingatan, perubahan-perubahan alam. Saya saksikan kemarau datang, angin selatan yang kencang, dahan-dahan yang meiuk, bulu-bulu bunga randu terbang, dan saya saksikan seorang tua di tepi jalan. Ilusi. Aneh. Dan, menghisap kesadaran. Pada kesaksian-kesaksian alam, saya justru kehilangan kesadaran diri. Apakah yang sedang saya lakukan? Siapakah saya? Apa makna kesaksian-kesaksian ini? Adakah korelasi-korelasi kesaksian saya atas alam? Sungguh, pertanyaan-pertanyaan tersebut tiada terlintas saat saya mengaplikasikan puisi Aziz dalam hidup keseharian. Sebab, ketika saya memasukkan puisi Aziz dan mengembalikannya dalam keseharian, saya merasa tiada. Saya lebur dalam alam. Yang ada hanya alam. Hanya saja, ini alam yang berbeda dengan alam keseharian. Ini alam yang fragmentaris, aktual sekaligus melibatkan angan dan ingatan, tak berlogika tapi nyata. Alam yang seperti bayang-bayang alam. Alam seperti melebihi dirinya sendiri. Saya amat percaya, pengalaman baca saya terkondisikan oleh tiadanya aku lirik dalam puisi.

Begitulah, Aziz menghapuskan aku lirik dalam puisi. Selanjutnya, saya membaca tindakan Aziz sebagai usaha “penyangkalan diri manusia” dalam realitas.

Saya pun teringat juga dengan kalimat kesufian yang bersandar pada Surat Israa’, XVII: 79, yaitu: Namazay ashiqan tark-i-wajud ast. Namazay zahidan qad wu sajud ast – “Sholat dari orang bercinta ialah meniadakan diri. Sholat dari orang taat ialah duduk dan sujud”. Sholat (bahasa Parsi: namaaz) ditandai dengan pengosongan dirinya daripada dirinya sendiri. Ini dimaksudkan untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Diri tiada, memang “manusia tak pernah ada” dan “yang ada Tuhan”.

Inilah penyangkalan terakhir dari manusia untuk memulai keberadaan yang sesungguhnya. Ash-shuufi lam yukhlaq - “Seorang Sufi adalah sesuatu yang tak diciptakan”. Sedang Rasulullah SAW pun menyangkal keberadaan dirinya; Anaa Ahmadun bi laa mim - ”Aku adalah Ahmad tanpa huruf miim”, yang berarti “Aku adalah Ahad (Esa)”.

Diri tiada, manusia tak pernah ada, aku lirik terhapuskan dalam puisi, dan puisi pun bertubuhkan peristiwa-peristiwa sekuler. Saya membaca adanya usaha untuk mengeksplorasi kembali puisi sufi atau khazanah sastra sufi di tanah air. Usaha untuk menawarkan pola pengucapan baru bagi tradisi puisi sufi. Apakah dengan demikian khazanah sastra sufi akan kembali marak dalam percaturan sastra Indonesia. Saya tidak tahu pasti. Bahkan, saya meragukannya. Peyair F. Aziz Manna hanyalah satu dari sekian besar penyair di tanah air. Eksplorasi-eksplorasi lain bagi tradisi puisi sufi masih harus dikerjakan lagi, dan masih ditunggu oleh kenyataan politik “seluruh penduduk Indonesia wajib beragama”.[]

Ulasan Pentas Teater Keluarga di Koran

Monolog ‘Alibi’, Hancurkan Kaca Jendela
| Rabu 08/11/2004
09:59:26 |
Surabaya – Surabaya Post
Tampilan Komunitas Teater Keluarga saat melakonkan “Monolog Alibi” di Gedung Fakultas Sastra Unair, Sabtu (6/11) malam cukup memukau. Aktor F. Aziz Manna terlihat mampu mengintepretasikan lakon atau naskah yang ditulis dan disutradarai S. Jai.

Secara umum, selama durasi sekitar 100 menit itu Aziz tidak terlihat kedodoran. Bahkan dengan improvisasinya, dia beberapa kali berdialog dengan sekitar 50 penonton yang dimayoritasi mahasiswa.

Suasana pun menjadi hidup berkat sederet kalimat jenaka yang diucapkannya. Bahkan saking bersemangatnya, beberapa lembar kaca nako gedung pecah saat dia menendang bola hitam.

“Saya tidak berhak mengurus kaca pecah itu. Kan sudah ada orang lain yang berwenang mengurusnya. Kalau saya ikut-ikutan mengurus, berarti saya mencampuri urusan orang lain,” katanya yang disambut gelak tawa penonton.

Sedangkan sutradara S.Jai yang juga mantan anggota teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) mengatakan pementasan itu merupakan preview menjelang pentas kelilingkan. Karena naskah tersebut belum pernah dipentaskan.

“Saya merencanakan mementaskan Monolog Alibi di beberapa tempat di Surabaya. Kemungkinan besar lokasinya di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Universitas Kristen (UK) Petra. Saya juga sedang menjajaki untuk tampil di luar Surabaya,” ujarnya.

Lakon Monolog Alibi mengisahkan tentang korupsi yang bisa juga dilihat dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Kisahnya, tentang anak haram seorang pelacur yang juga punya anak dan istri. Dia amat mencintai ibunya. Cinta sang bundalah yang menyadarkannya menjadi manusia yang bertanggung jawab pada diri sendiri, ilmu dan keluarganya.

Dia sengaja membentengi rumahnya dari kehadiran siapapun bahkan rela keluar dari pekerjaannya. Ia lebih memilih mengurus sendiri keluarganya dan menolak campur tangan siapapun, termasuk tetangga dan negara.

“Dalam pementasan itu saya menghadirkan elemen-elemen perwayangan --seperti: dalang, lampu, layer-- meski tanpa sosok wayang. Saya cukup mengganti tokoh wayang dengan kostum yang dipajang di depan layar,” katanya.

Sehingga, di situ pula lah si aktor bisa keluar masuk dengan idenya dalam kostum sehingga harus sering berganti di panggung. Wujud wayang hanyalah soal baju saja. Selanjutnya tergantung bagaimana “mengisinya.”

Jai mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater. Menurutnya, monolog bukan mustahil akan menjadi sebuah ideologi dalam arti sudut pandang. Sudut pandang “Aku” tak beda bila diganti “Kami” jika keduanya mempertahankan sikap “sepihak.”

Selain itu, sekaligus menyebarkan informasi tentang kemungkinan diterapkannya asas pembuktian terbalik dalam hukum untuk memberantas korupsi di tanah air. (aga)