Senin, 17 Maret 2008

Ulasan Pentas Teater Keluarga di Koran

Monolog ‘Alibi’, Hancurkan Kaca Jendela
| Rabu 08/11/2004
09:59:26 |
Surabaya – Surabaya Post
Tampilan Komunitas Teater Keluarga saat melakonkan “Monolog Alibi” di Gedung Fakultas Sastra Unair, Sabtu (6/11) malam cukup memukau. Aktor F. Aziz Manna terlihat mampu mengintepretasikan lakon atau naskah yang ditulis dan disutradarai S. Jai.

Secara umum, selama durasi sekitar 100 menit itu Aziz tidak terlihat kedodoran. Bahkan dengan improvisasinya, dia beberapa kali berdialog dengan sekitar 50 penonton yang dimayoritasi mahasiswa.

Suasana pun menjadi hidup berkat sederet kalimat jenaka yang diucapkannya. Bahkan saking bersemangatnya, beberapa lembar kaca nako gedung pecah saat dia menendang bola hitam.

“Saya tidak berhak mengurus kaca pecah itu. Kan sudah ada orang lain yang berwenang mengurusnya. Kalau saya ikut-ikutan mengurus, berarti saya mencampuri urusan orang lain,” katanya yang disambut gelak tawa penonton.

Sedangkan sutradara S.Jai yang juga mantan anggota teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) mengatakan pementasan itu merupakan preview menjelang pentas kelilingkan. Karena naskah tersebut belum pernah dipentaskan.

“Saya merencanakan mementaskan Monolog Alibi di beberapa tempat di Surabaya. Kemungkinan besar lokasinya di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Universitas Kristen (UK) Petra. Saya juga sedang menjajaki untuk tampil di luar Surabaya,” ujarnya.

Lakon Monolog Alibi mengisahkan tentang korupsi yang bisa juga dilihat dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Kisahnya, tentang anak haram seorang pelacur yang juga punya anak dan istri. Dia amat mencintai ibunya. Cinta sang bundalah yang menyadarkannya menjadi manusia yang bertanggung jawab pada diri sendiri, ilmu dan keluarganya.

Dia sengaja membentengi rumahnya dari kehadiran siapapun bahkan rela keluar dari pekerjaannya. Ia lebih memilih mengurus sendiri keluarganya dan menolak campur tangan siapapun, termasuk tetangga dan negara.

“Dalam pementasan itu saya menghadirkan elemen-elemen perwayangan --seperti: dalang, lampu, layer-- meski tanpa sosok wayang. Saya cukup mengganti tokoh wayang dengan kostum yang dipajang di depan layar,” katanya.

Sehingga, di situ pula lah si aktor bisa keluar masuk dengan idenya dalam kostum sehingga harus sering berganti di panggung. Wujud wayang hanyalah soal baju saja. Selanjutnya tergantung bagaimana “mengisinya.”

Jai mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater. Menurutnya, monolog bukan mustahil akan menjadi sebuah ideologi dalam arti sudut pandang. Sudut pandang “Aku” tak beda bila diganti “Kami” jika keduanya mempertahankan sikap “sepihak.”

Selain itu, sekaligus menyebarkan informasi tentang kemungkinan diterapkannya asas pembuktian terbalik dalam hukum untuk memberantas korupsi di tanah air. (aga)

Tidak ada komentar: