Jumat, 21 Januari 2011
Inilah Puisi Khas Surabaya
Rabu, 19 Januari 2011 16:02:29 WIB
Reporter : Ribut Wijoto
Surabaya (beritajatim.com) – Surabaya memiliki karakter khas
perkotaan yang bisa dibedakan dengan kota-kota lain di Indonesia.
Karakter inilah yang dibahas dalam acara Surabaya Culture
Exhibition 2011 di Fakultas Ilmu Budaya Unair, Rabu (19/1/2011).
Acara diselenggarakan oleh Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar
bekerja sama dengan Magister Kajian Sastra dan Budaya FIB Unair,
dan Teater Gapus Surabaya. Di sini ditampilkan diskusi antologi
puisi “Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang” karya F Aziz Manna.
Pembicara Diah Arimbi (Direktur Magister Kajian Sastra dan Budaya
FIB Unair) dan Soe Tjen Marching (Novelis dan Akademisi Sastra).
Diah Arimbi mengatakan bahwa Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang
membicarakan tentang perkembangan kota Surabaya mulai dari tahun
1930-an dengan pencitraan kota yang asri sampai pada
perkembangannya sebagai kota industri. “Puisi Aziz ini bisa disebut
sebagai puisi ekokritik,” katanya.
Sementara Soe Tjen Marching menunjukkan bahwa puisi-puisi Aziz
mengeksploitasi hal-hal yang menunjukkan ke-Surabaya-annya.
Kata-kata khas Surabaya seperi jancuk, kenthuan, balon, kelon
dimaksimalkan dengan tepat. “Kultur Surabaya memang khas, dan itu
muncul secara apik dalam puisi-puisi Aziz Manna,” ujarnya.
Acara ini juga menampilkan pentas Teater “Gladi Resik” dari Teater
Gapus Surabaya yang disutradarai oleh Dheny Jatmiko. Pentas ini
mengadaptasi estetika ludruk menjadi sebuah pentas yang lebih
komikal. Selain itu juga ditampilkan jula-juli dari Paguyuban
Karawitan Sastra Jendra (Pakarsajen). Acara ini rencananya akan
dilaksanakan kembali pada akhir bulan Februari 2011 untuk
ditampilkan di beberapa kota: Surabaya, Malang, Madura, Yogyakarta,
Bandung, dan Jakarta. [but]
Kata orang tentang buku puisi
Puisi
Siti Surabaya, Antologi Kritik Sosial
Editor : Glori K. Wadrianto
Laporan wartawan KOMPAS Nina Susilo
Rabu, 19 Januari 2011 | 15:22 WIB
SURABAYA, KOMPAS.com — Surabaya berkembang menjadi kota dagang dan
industri. Perkembangan membawa ekses terutama pada tertinggalnya
kaum marjinal dari kemakmuran. Perkembangan Surabaya dari wilayah
yang asri menjadi kota dagang ditampilkan kuat dalam antologi puisi
karya F Aziz Manna, "Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang".
Direktur Magister Kajian Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga Diah Ariani Arimbi menjelaskan, Siti
menunjukkan makna perempuan atau tanah. Selain sebagai perempuan,
untuk Surabaya sebelum 1930, Aziz menampilkan tanah dan alam yang
indah dan asri.
Namun, perkembangan sebagai kota industri menyebabkan ekses
marjinalisasi warga miskin. Atas nama pembangunan dan percepatan
ekonomi, terjadi stres pada kelas buruh, sampah seusai pesta tahun
baru misalnya, dan komunitas jalanan. Karenanya, puisi-puisi Aziz
disebut Diah sebagai ekokritik.
Aziz tidak hanya melihat masalah kota, tetapi juga efek kehidupan
urban yang muncul. Novelis dan akademisi sastra, Soe Tjen Marching,
menambahkan, puisi-puisi Aziz menampilkan Surabaya, baik dari
kacamata warganya maupun orang luar Surabaya.
Tidak hanya nama-nama tempat di Surabaya yang menunjukkan
kesurabayaan, unsur lain seperti dolanan anak dan umpatan (pisuhan)
kentrung jancukan mewarnai puisi-puisi Aziz. Menurut Aziz yang
lulusan Jurusan Sejarah Universitas Airlangga, Surabaya seperti
peta yang menghapus garis-garisnya sendiri. Rencana tata ruang dan
wilayah (RTRW) sudah dibuat, tetapi akhirnya dilanggar.
Bedah buku yang dikemas Surabaya Culture Exhibition 2011 ini
diselenggarakan atas kerja sama Program Magister Kajian Sastra dan
Budaya FIB Unair, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar, dan
Komunitas Teater Gapus. Sebelum bedah buku, dipentaskan teater
"Gladi Resik" dari Komunitas Teater Gapus dengan sutradara Dheny
Jatmiko.
Selain itu, dilantunkan juga jula-juli yang disadur dari puisi Aziz
yang berjudul "Semakin". Pementasan ini juga diselenggarakan akhir
Februari 2011 di Malang, Madura, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.*
Langganan:
Postingan (Atom)