Jumat, 21 Januari 2011

Kata orang tentang buku puisi



Puisi
Siti Surabaya, Antologi Kritik Sosial
Editor : Glori K. Wadrianto
Laporan wartawan KOMPAS Nina Susilo
Rabu, 19 Januari 2011 | 15:22 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Surabaya berkembang menjadi kota dagang dan

industri. Perkembangan membawa ekses terutama pada tertinggalnya

kaum marjinal dari kemakmuran. Perkembangan Surabaya dari wilayah

yang asri menjadi kota dagang ditampilkan kuat dalam antologi puisi

karya F Aziz Manna, "Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang".

Direktur Magister Kajian Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga Diah Ariani Arimbi menjelaskan, Siti

menunjukkan makna perempuan atau tanah. Selain sebagai perempuan,

untuk Surabaya sebelum 1930, Aziz menampilkan tanah dan alam yang

indah dan asri.

Namun, perkembangan sebagai kota industri menyebabkan ekses

marjinalisasi warga miskin. Atas nama pembangunan dan percepatan

ekonomi, terjadi stres pada kelas buruh, sampah seusai pesta tahun

baru misalnya, dan komunitas jalanan. Karenanya, puisi-puisi Aziz

disebut Diah sebagai ekokritik.

Aziz tidak hanya melihat masalah kota, tetapi juga efek kehidupan

urban yang muncul. Novelis dan akademisi sastra, Soe Tjen Marching,

menambahkan, puisi-puisi Aziz menampilkan Surabaya, baik dari

kacamata warganya maupun orang luar Surabaya.

Tidak hanya nama-nama tempat di Surabaya yang menunjukkan

kesurabayaan, unsur lain seperti dolanan anak dan umpatan (pisuhan)

kentrung jancukan mewarnai puisi-puisi Aziz. Menurut Aziz yang

lulusan Jurusan Sejarah Universitas Airlangga, Surabaya seperti

peta yang menghapus garis-garisnya sendiri. Rencana tata ruang dan

wilayah (RTRW) sudah dibuat, tetapi akhirnya dilanggar.

Bedah buku yang dikemas Surabaya Culture Exhibition 2011 ini

diselenggarakan atas kerja sama Program Magister Kajian Sastra dan

Budaya FIB Unair, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar, dan

Komunitas Teater Gapus. Sebelum bedah buku, dipentaskan teater

"Gladi Resik" dari Komunitas Teater Gapus dengan sutradara Dheny

Jatmiko.

Selain itu, dilantunkan juga jula-juli yang disadur dari puisi Aziz

yang berjudul "Semakin". Pementasan ini juga diselenggarakan akhir

Februari 2011 di Malang, Madura, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.*

Tidak ada komentar: