Minggu, 22 Juni 2008

Festival Seni Surabaya: Mengangankan Kualitas dalam Rutinitas

Festival Seni Surabaya telah berakhir awal pekan ini. Semaraknya pun tak lagi tersisa. Tapi yang terus saja menjadi pertanyaan setiap kali ajang ini berlangsung adalah apa yang dihasilkan festival itu selain sebagai acara rutin tahunan belaka.
Beragam suguhan ditampilkan festival yang juga bersamaan dengan momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional itu. Tak hanya para seniman lokal, tapi juga dari Jakarta, Solo, Yogyakarta, Bandung, bahkan Prancis. Namun, festival yang diselenggarakan sejak 1995 itu belum bisa disebut berhasil untuk membangkitkan Surabaya sebagai kota seni di tengah gemuruh industri.
Kendati demikian, seperti dituturkan Cak Kandar, idealisme menjadikan Surabaya barometer berkesenian, menjadikan acara tahunan itu terus bertahan meski panitia penyelenggara harus jatuh-bangun mempertahankan agar event ini tetap terselenggara. “Kami ingin membangun citra Surabaya sebagai barometer berkesenian,” katanya.
Festival yang kali ini bertema “Tribute to Surabaya” itu memberi ruang yang besar bagi seniman lokal. Dan dari sisi jumlah, memang mereka lebih banyak ketimbang seniman luar. Kurator yang melakukan seleksi telah berupaya keras agar festival tidak saja meningkat dari sisi kuantitas, tapi juga kualitas. Dalam istilah Cak Kandar, “Agar seniman lokal tidak hanya menjadi penikmat dan penonton.”
Dalam festival tahun ini, 70 persen penyaji memang berasal dari Surabaya dan kota lainnya di Jawa Timur. Bahwa tampil pula sejumlah seniman besar dari luar Surabaya dan Jawa Timur, bahkan seniman asal Prancis, tidak dimaksudkan untuk menafikan bobot para seniman lokal. Justru penting bagi keberagaman serta bahan komparasi. “Hal itu penting sebagai bahan referensi bagi seniman dan masyarakat Surabaya,” ujar Cak Kandar pula.
Toh pada kenyataannya festival kali ini kian mengukuhkan para seniman muda, seperti penyair Indra Tjahyadi, Mashuri, A. Muttaqin, Denny Tri Aryanti, dan F. Aziz Manna.
Selain menyuguhkan karya puisinya masing-masing, keberadaan kelima penyair itu diagendakan khusus dalam diskusi sastra dengan tema “Lima Penyair Menebus Kota”. Dan oleh banyak tokoh penyair, kelima anak muda itu bakal setara dengan jajaran penyair nasional. Karya mereka sudah berkali-kali menembus halaman media nasional.
Sebagai sebuah perhelatan, festival kali ini pun tak luput dari persoalan klasik: dana. Meski telah disiapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Surabaya, panitia tetap saja harus pontang-panting mengakalinya agar festival bisa terlaksana dengan baik. “Sering kali ketua panitia harus nalangi dulu. Cak Kadaruslan pernah harus menggadaikan rumahnya agar event ini bisa terselenggara,” ujar Cak Kandar, yang mengaku harus merelakan delapan lukisannya untuk membiayai festival kali ini.
Dana dari pemerintah baru diberikan akhir Mei. Padahal berbagai persiapan festival sudah dilakukan sejak awal tahun. Setali tiga uang dengan dana dari sponsor, yang juga tak kunjung cair meski festival telah berlangsung. “Sesuai kontrak, para penampil sudah harus dibayar begitu mereka selesai tampil,” kata Cak Kandar pula.
Kendala dana pulalah yang menyebabkan panitia menerima karya yang ditampilkan seniman meski keluar dari tema. Sebab, butuh dana yang besar jika terlalu ketat pada persyaratan.
Meski demikian, Cak Kandar mengajak masyarakat Surabaya memberikan apresiasi yang baik kepada pelaksanaan festival. Menurut dia, perhelatan semacam ini bukan sekadar acara rutin tahunan. Toh ajang ini, menurut dia, telah melahirkan para perupa baru. “Seniman yang bisa tampil di festival melewati seleksi yang ketat,” katanya. YEKTI HM

Dikenal Secara Nasional, tapi Asing bagi Masyarakat Lokal

Fatkhul Aziz Manna adalah salah seorang penyair muda yang nama serta karyanya banyak dibicarakan dalam Festival Seni Surabaya.
Lulusan Fakultas Sastra Universitas Airlangga ini kini aktif di Forum Studi Seni dan Sastra Luar Pagar, sebuah komunitas seniman Surabaya. Pernah pula menjadi pengurus Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya. Sewaktu kuliah, dia adalah salah seorang aktivis Gardu Puisi Sastra (Gapus), unit kegiatan kesenian di kampusnya.
Karya puisi lelaki kelahiran Sidoarjo, 8 Desember 1978, itu sudah banyak bertebaran di berbagai media lokal hingga nasional, di antaranya Tiga Penggal Surat. Karya ini pun bahkan pernah diulas dan dibacakan di sebuah radio berbahasa Indonesia di Jerman, Deutch Welle.
Ayah seorang anak, Fouqo Alvina Wardah Putri Aziz, ini sudah sejak kecil menggeluti dunia menulis. Kini namanya sudah mulai disejajarkan dengan sastrawan lokal maupun nasional.
Karyanya, yang dikenal dengan penggunaan bahasa yang kritis serta lugas, ada yang telah dibukukan. Salah satunya dalam Antologi Puisi Festival Mei, Bandung. Dua puisi yang masuk antologi itu adalah Paku dan Sajak Kartu.
Meski nama maupun karyanya menjadi pembicaraan di perhelatan Festival Seni Surabaya, tidak serta-merta dia gembira.
Ia bahkan kecewa lantaran perhelatan kali ini semakin sepi penonton. “Tahun lalu masih lebih semarak,” katanya kepada Tempo kemarin.
Penyair yang juga wartawan ini juga menyayangkan ketidakmampuan panitia menggalang penonton. Kelemahannya, katanya, pada sisi publikasi. Akibatnya, tujuan memperkenalkan seniman lokal jauh dari harapan. “Padahal kemampuan mengemas dan memperkenalkan penyaji lokal sangat diperlukan untuk mengangkat popularitas seniman lokal,” kata pengagum Sapardi Djoko Damono itu.
Jika saja publikasi perhelatan tahunan itu dikemas dengan baik, ia yakin festival akan mendapat perhatian banyak penonton, meskipun yang tampil mayoritas seniman lokal. “Banyak seniman lokal Jawa Timur yang karyanya telah diakui secara nasional tapi kurang dikenal karena institusi kesenian Jawa Timur tidak bisa mengkomunikasikannya kepada pada publik lokal,” katanya. YEKTI HM

1 komentar:

Anonim mengatakan...

no komen.