Rabu, 04 Juni 2008

Naskah Grup Teater Sumber Rejeki

ASU!
(Aku Juga)
Karya: Ki Mashuri Sukodadi


Di bawah tenda besar, dua orang sedang menunggu. Musik sunyi. Kadang-kadang terdengar desau angin. Lampu temaram

A: Kita seperti orang asing
B: Tidak! Kita diasingkan.
A: Kamu selalu saja menyalahkan.
B: tidak, karena kita sama-sama salah


A: ataukah kita sedang menunggu sesuatu
B: memang kita sedang menunggu, dan kita sama sekali tak tahu siapa yang kita tunggu.
A: aku tahu, iblis
B: kini, kau salah. Jika kau tuduh aku selalu saja menyalahkan, kini kau selalu saja menyalahkan.
A menatap B dengan pandangan tak mengerti.
A: kita menunggu maut!
B: klise! (memandang ke arah lain) kita sudah mati!
A: kalau bukan maut, lalu apa? Meski kita sudah mati, tapi maut tetap saja bekerja!
B menatap ke atas
B: aku tahu, kita sedang menunggu malaikat
A: tapi kita sudah mati! Dan malaikat tak diperlukan lagi

Musik requiem

A: kita memang berada di lahat. Lihatlah tak ada apa-apa, kecuali nafas kita sendiri yang diam dan menggumpal. Lihatlah, kita dibebaskan dari beban lama kita, ingatan-ingatan kita.
B: kau belum bebas, kau masih ingat istrimu!
A: Itu soal lain, ia terlalu cantik untuk dilupakan, meski ia suka selingkuh. Tapi aku tak lagi berbeban, kecuali soal dendam!
B: kau memang tak seperti aku
A: kau yang tak seperti aku!
B: kau memang tak mau mengalah!
A: kau yang tak mau mengalah!


B: Oke, kawan karib. Aku tak mau mengalah, tapi aku ingin mengalah. Karena aku telah mengalah, tolong jawab, kita sedang menunggu apa.
A: kita tak seasing seperti yang kau pikirkan. Kita saling kenal bukan? Pertanyaanmu terlalu lugu. Cobalah membuat pikirna-pikiran lain, kecuali untuk mencari kepastian.
B: Kita menunggu iblis!
A: itu kataku.
B: kita menunggu malaikat?
A: Itu katamu
B: terus?

A: aku punya gagasan, bagaimana kita menunggu sesuai dengan pikiran-pikiran kita. Kau menunggu malaikat dan aku menunggu iblis. Kita bebaskan saja pencarian kita. Meski untuk sementara atau untuk seterusnya, kurasa aku ingin memiliki diriku sendiri. Kukira kau juga begitu?
B: oke! Aku setuju meski dengan beberapa catatan. Tapi haruskah ita bersetuju, sedangkan di sini tidak ada orang lain. Jika kita saling bersetuju, jelas tak akan ada apa-apa di sini. Kita seharusnya saling asing, sehingga kita bisa mencipta sesuatu di sini.
A: kamu memang bijaksana
B: tak ada kebijaksanaan di sini. Semua orang berharap ada yang salah. Soalnya kita tak berada di atas, kita sedang berada di bawah, di bawah seluruh batas. Dan kamu selalu saja tak mau mengalah, meski kau bersalah dan selalu berharap kesalahan dari aku.


B: bagaimana kita bisa tahu, bahwa pikiran kita memberi kebebasan dan kekuatan pada kita, dan menumbuhkan keyakinan pada diri kita bahwa kita menunggu sesuatu.
A: kenapa sesuatu, pastikan.
B: malaikat!
A: mudah! Sebut saja nama malaikat dengan terpejam dan kau akan merasakan kehadirannya.
B: kehadiran? Begitu juga dengan iblis?
A: ya!
B: bagaimana kau bisa tahu dan memastikan.
A: kini aku tahu pikiranmu, kau terus mencobai aku dengan sesuatu yang kita sama-sama sudah tahu. Tidak bisakah kau memahamiku seperti dulu, sebelum kita sama-sama tersesat di sini, dan sedikit mengharap ada sesuatu yang datang dan merubah arah perjalanan.
B: kini kau suka mengeluh. Aku hanya ingin tahu bagaimana kau bisa tahu dan memastikan soal apa yang kita tunggu.

Hening
A: malaikat? (B mengangguk) itu urusanmu. Kita sudah mati. Aku sudah berjumpa dengannya, bukankah saat kau mati, kau melihatnya?
B: aku melihat, tapi tak bisa memastikan. Kini aku ingin memastikan, seperti kau.
A: Sudah kubilang, sebut saja namanya dan kau akan merasakan kehadirannya. Meski kehadirannya itu hanya warna atau bayang, meski kehadirannya jauh dari apa yang pernah kau pikirkan.
B: oke aku akan mencoba.
B terpejam, ia lalu berguman
tenda berwarna biru.
A: lihatlah, ia sudah datang. Tapi aku tak suka kehadirannya. Kau tahu, dia bukan yang aku tunggu, hentikan atau kau terus saja berjalan dan kau tinggalkan aku di sini.
Tenda kembali dalam kondisi semula.
B: (membuka mata) Ah, tak ada apa-apa. Ia tetap tidak hadir. Kau telah berbohong kepadaku. Ternyata perangaimu masih tetap sama. Ah kau masih saja dihantui istrimu, bukankah kita sudah dibebaskan dan harus melepaskan ingatan. Aku tahu kau masih dendam.

A diam, kening berkerut, ia berjalan hilir mudik. Digoyang-goyangnya tiang tenda. Ada kegelisahan.
A: aku tadi melihatnya, jika kau tak percaya, itu urusanmu, atau aku akan merobohkan persinggahan kita. Ah, kucari dulu, biar kau percaya, tapi apa urusanku. Toh aku tak suka dengan kehadirannya. Kau memang tak pernah percaya kepadaku. Kau memang…
A lalu duduk. Memejamkan mata. Ia mulai berguman. Tenda berubah merah.
B: ah, aku suka yang ini, ada apa gerangan, benarkah ini . Inikah iblis yang kau puja. O, aku suka, aku suka, aku suka!
Tenda mendadak gelap. Hitam berdiwana.

B: kenapa gelap? Hai A, kemana kau, di mana suaramu.

Tenda terang, tinggal B sendiri.

B: Kau pergi, entah kau sudah sampai, hilang, atau kau bersembunyi. Aku tak peduli. Aku sudah lama berada di jalan dan aku tak pernah mendapatkan jawaban. Jika aku masuk ke kematian, aku akan tahu ada yang tak kutahu, ternyata di sinilah yang tak kutahu. Di balik kehadirannya, aku menemukan sisi yang tak bisa kuindrai begitu saja. Aku menemukan diriku sendiri, aku menemukan!
Iblis! Ya pada iblis sepertinya aku harus berguru. Ia telah mengajarkan banyak hal. Ah, kenapa dulu aku sering mendengarkan orang-orang yang mengutuhkanya, kenapa dulu aku sering menyalahkannya. Ia lebih berjiwa, ia lebih menjanjikan …

Black out

A: aku tak membenci malaikat. Aku tak bisa membenci makhluk Tuhan. Aku bukan Musa, ketika ia kedatangan malaikat maut lalu menamparnya. Aku tak sekuat dia. Aku juga asu!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bukankah di dan manna itu musti disambung? sebab ia adalah kata Hyang Tunggal...